Cuplikan Side Even di CSW 59
Economic Sustainabilty in the Perspective of Human’s Rights
Sudahkah pendekatan HAM dipakai dalam pembangunan ekonomi? Sebuah side even bertajuk Economic Sustainability in the Perspective of Human Rights diselenggarakan oleh PWESCR memberikan penekanan pada pentingnya human’s rights menjadi indikator pembangunan ekonomi dengan memperhatikan kelompok rentan seperti perempuan di sektor informal dan anak perempuan yang sering menjadi korban pembangunan ekonomi yang berorienasi pada pertumbuhan income saja, penguatan subsidi bagi perempuan kepala keluarga. Perjuangan special temporary measurement atau dikenal quota 30% tidak puas dengan mendapatkan kursi buat perempuan, tetapi memastikan visibilitas agenda perempuan di parlemen sangat penting. Di Panel ini ada Patricia Blankson Akakpe- NetRights Ghana, Shirley Pryce-Jamaica Household Worker Union, Priya Tangaradja-Women Action Network Srilangka, Monica Nevelle-De La Mujer, and Ruby Khalifah-AMAN Indonesia.
Female Genital Mutilation
FGM/FGC/FC adalah salah satu bentuk dari kekerasan terhadap perempuan. Baik itu yg dilakukan secara simbolik maupun dengan memotong klitorisnya. Tanpa ada persetujuan korban FGM/FGC dilakukan pada anak mulai umur 0 tahun sampai 8 tahun. FGM/FGC/FC terjadi tidak hanya di negara-negara timur tengah, tetapi juga di negara asia seperti Indonesia,Iran dan Irak ini masih terjadi. Ajaran agama Islam dan tradisi menjadi alasan mereka tetap melakukan FGM/FGC, yang sebenarnya tidak ada manfaatnya bagi perempuan.
Orchid project sebuah NGO international di London Inggris mempunyai fokus isu pada kampanye anti FGM/FGC/FC mengadakan sebuah panel side event di csw 59 ttg FGM/FGC/FC tanggal 9 maret 2015 dengan narasumber Listyowati/Rena Herdiyani (Kalyanamitra-Indonesia), Hannah Wettig (WADI- Stop FGM Middle East, Jerman) dan Rayehe Mozafarian (Reseachcer dari Iran). Panel ini cukup banyak dihadiri peserta sekitar 50 orang.
Economic Empowermet to Achieve sustainable Development Goals
Workshop ini diselenggarakan oleh United Nations Office of Information and Communication Technology, Journalists and Writers Foundation, dengan mengangkat pentingya technologi untuk pemberdayaan perempuan, cara baru menghitung cost VAW dengan indikator peace, dan mendengarkan pengalaman dari Nigeria yang menggugat kecilnya kepemilikan rekening bank perempuan di Nigeria yaitu 15%. Teori agency dan structure juga menjadi titik analisis dimana aksi volunterism bisa dipakai untuk membuka ruang publik buat penguatan peran perempuan.
Child, Early and Forced Marriage; Indicator for Progress
Beberapa Panelis yang bicara dalam workshop ini adalah UNICEF, Europian Council (Sera), Zambia, International Care India (Archana Dwivedia), Yordania (Salan Kanaan), Kenya (Hope). Secara umum semua pembicara menjelaskan bahwa di negara mereka maslaah dengan perkawinan anak, prosentasinya bervariasi dari 15-40 persen, dan negara mereka memiliki kebijakan untuk menghentikan perkawinan anak, namun dengan tantangan masing-masing yang mereka hadapi seperti pendidikan, kemiskinan, konflik dan sebagainya yang berakar pada ketimpangan gender belum bias menghentikan perkawinan anak. Indikator pembangunan bisa dipakai untuk mengakhiri perwakinan anak dan menawarkan usi perkwainan minimal 20 tahun. Ada Call for Action di global untuk mengakhiri perwakinan anak.
National Action Plan as a Tool to Address Sexual Violence
Resolusi 1325 tentang Perempuan sudah ada di berbagai negara. di Asia, Afghanisan akan segera menjadi negara ke 49. Bisakah NAP dipakai sebagai Tool untuk merespon Sexual Violence? Tentu sangat bisa, tetapi tantangannya adalah konsep keamanan masih diasosiasikan dengan national defence. Jika sexual violence bisa jadi concern Kementerian
Pertahanan, tentu akan membongkar semua perspektif. Di UN sendiri kordinasi antar badan susah. Gender Expert yang untuk isu security tidak menguasai gender based violence. Framework 1325 tidak harus dibaca kaku. Review penting tapi kerja lebih penting. Workship ini diorganisir oleh Inclusive Security.
UN Women Breakfast Meeting
Lokakarya Implementing the Beijing Platform for Action diorganisir oleh UN Women dengan pembicara DirekturUNESCO, Direktur UNFPA, Direktur UNICEF, Ketua CSW 59, Senior Director for Gender World Bank yangdifasilitasi Direktur UN Women. Direktur UN Women menekankan pentingya memasukkan gender equality dalam Post MDGs dan harus masuk dalam political declaration.
Ibu Kanda dari Thailand sebagai Ketua CSW 59 menekankan pentingkan political will anggota PBB untuk melakukan apa yang mereka sepakati.Perlu adanya sinergi antara badan-badan PBB yang perlu diperkuat. Resolusi 1325 masih jauh dari tujuannya, penjaga perdamaian perempuan belum mendapat tempat yang semestinya dan perempuan masih dilihat victim. UNICEF menekankan pentingnya keterlibatan CSO dan perlindungan anak perempuan dengan menjamin pendidikan. UNESCO menekankan bahwa penting punya goal ambisius, tapi juga diimbangi dengan implementasi.Diharapkan generasi saat ini bisa menjadi generasi yang mengurangi kemiskinan secara drastis dengan sistematis. PBB harus menjalan mandat dengan benar.
Financing for VAW
Lydia Apazer, AWID (Asociation of Women in Development) menegaskan bahwa ODA untuk VAW sangat rendah. Fund untuk gender equality banyak diberikan ke organisasi regional dan sedikit yang menetes ke organisasi perempuan. Ke depan alokasi budget untuk VAW harus dimainstreamkan pada alokasi yang lain karena persoalan VAW adalah universal. DOnor juga diminta flexible untuk kegiatan protection of HRDs. Kritis pada donor, jangan hanya peduli pada program, tapi orang yang menjalankan program perlu diperhatikan. Laskmi Puri dari UN Women mempertegas bahwa ke depan UN women akan memberikan banyak porsi budget untuk grass root organisasi. Dengan mekanisme dan standard proposal yang sama?
Women and Health
Beberapa pakar dr Uni Eropa, Amerika, UNFPA dll memberikan pandangan ttg kondisi kesehatan perempuan yg lebih difokuskan pada anak perempuan. Dalam panel ini hadir juga beberapa anak remaja laki-laki dan perempuan yg kemudian mereka memberikan pernyataan. Isu FGM dan pernikahan anak menjadi 2 isu utama karena semua panelis bicara isu ini. Dimana FGM dan pernikahan anak masih terjado dan sangat merugikan kesehatan anak perempuan. Kurangnya infprmasi, pendidikan dan akses pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja menjadi evaluasi setiap panelist. Hak anak harus dipenuhi yaitu hak atas tubuhnya.
Nationalism
Dalam panel ini dipaparkan tentang hasil penelitian mereka ttg nationality/statelessness di beberapa negara yaitu Nepal, Madagaskar, Indonesia. Indonesia menjadi best practise bagi negara lain karena keberhasilan masyarakat sipil dalam melakukan advokasi revisi UU Kewarganegaraan tahun 2006 dimana sejak itu perempuan dapat menurunkan kewarganegaraannya kepada anak. Dalam panel ini yang menjadi narasumber Dimiirtri (ERT), Zahra(insititute statelessness), Noelle (coalition of constitutional equality), Jacqui Hunt(equality now) dan Rena (Kalyanamitra).
Discriminatory Law
Panel ini diselenggarakan oleh Equality Now dan UN Women.2 artis dunia menjadi campaigner utk bicara discriminatory laws yaitu Jane Fonda dan Sarah John.Isu yang di angkat oleh 2 artis yang sudah terlibat dalam kegiatan masyarakat sipil ini adalah peraturan2 yang masih mendiskriminasikan perempuan yang masih menempatkan perempuan pada posisi dibawah laki-laki yaitu poligami, FGM, pernikahan anak, partisipasi perempuan di ruang publik, kebebasan perempuan memilih pekerjaan. Beberapa negara menjadi konsen dalam panel ini seperi Afrika, Middle East dan Southeast Asia.
Feminist and Resistance
Workshop yang diselengarakan oleh FRIDA dan RESURJ.Side mengambil tema Young Feminist Activists: Facing the Fire, Strategies of Resistance at the Local, Regional and Global Level”, berubah menjadi ajang pembantaian kelompok feminist. Isu kontroversial safe abortion yang sedang dibahas kemudian mendapatkan respon sinisme dari beberapa audien. Dalam waktu singkat Panelis diberondong pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan bahwa safe abortion tidak tepat. Berikut cuplikan statementnya;
"we shouldn't be rationally constructing these decisions [in the UN, about the right to safe abortion]," "if we discuss controversial subjects [like the right to safe abortion] at the UN we will lose respect for the system," and that Guttmacher and the WHO cannot be trusted, that the Declaration of Human Rights declares marriage is only between a man and woman…(quoted from audience named Stefano Gennarini, Rebecca Oas, and Ryan Bomberger.)
Gender Harmony
Pada workshop yang bertajuk “Gender Harmony and Women’s Empowerment Beyond Beijing +20, juga digelar CSW 59 dan diprakarsai oleh Dr. Erna Suryadi, dirktur Gender Harmoni Foundation Indonesia. Sejak ada Pressure dari CSO Indonesia, KPPA tidak merespon undangan mereka bahkan perwakilan dari KemenInfo yang dijadualkan bicara juga akhirnya membatalkan. WUNRN (WOmen UN Research) bukanlah badan UN, sehingga even mereka bukan bagian dari formal UN. Tapi karena menggunakan nama UN maka orang terkecoh. Panelis juga mendapatkan respon tegas dari audien krena dianggap menggunakan metodologi lemah. KPPPA sangat baik merespon cepat masalah ini dan segera menarik diri dari forum ini karena dianggap kontra produktif.
Islam and Women’s Rights
Islam dan Human’s Rights sangat sejalan. Zainah Anwar membuka presentasinya dalam side event bertajuk Searching Common Ground: Islam and Women Human’s Rights yang digelar kerjasama PTRI, KOMNAS Perempuan dan Musawah, sebuah jaringan global Islam dan Hak Perempuan. Zainah yakin bahwa Islam and women human’s rights are compatible, adalah harga mati. Mengapa prakteknya berbeda? Ini karena yang diyakini adalah ideologi bukan prinsip besar Islam. Ruhaini memberikan contoh reform terjadi di Indonesia yang didukung oleh gerakan feminis progresif terkait dengan mekanisme di peradilan agama yang lebih progresif. Ziba sangat yakin bahwa Islam bukan ideologi, Islam adalah prinsip.
Sesi serupa juga diselenggarakan pada hari Sabtu, 14 Maret 2015, dimana Ziba Mir Husaini, Marwan dan Nani Zulminarni membedah hasil penelitian Musawah tentang Qiwamah dan Wilayah, sebagai basis teori utuk melihat peluang perempuan reclaim hak-hak mereka. Penelitian ini menggunakan method story tellling dari pengalaman perempuan mengalami kekerasan dan bagaimana agama dipakai untuk menjastifikasi.
Women and Poverty : Economic Empowerment
Even digelar oleh organisasi dari India yang memiliki sejarah panjang inovasi pemberdayaan ekonomi bagi kelompok perempuan miskin. Pembicara aktivis2 perempuan yang sudah sangat senior namun memiliki semangat yang tak pernah kendor. Untuk mengatasi kemiskinan dengan pemberdayaan ekonomi mereka menawarkan pendekatan yang holistik mulai dari akses kredit hingga konsep ekonomi kolektif, keterlibatan perempuan dalam pengambil keputusan dan politik serta menghitung biaya ekonomi aktivitas domestik perempuan; terasa sangat kontras dengan pembicaraan di dua sesi sebelumnya. India memang progresif dalam hal menggugat relasi kuasa gender dan kelas. Yang menarik sharing dari negara Karibia yang katanya paska Beijing telah menghitung dan memasukkan nilai kerja domestik perempuan dalam GDP negara, satu kebijakan makro luar biasa. Sebagai konsekwensinya kontribusi perempuan sangat diperhitungkan dan mengangkat posisi politik mereka. Selain itu disoroti juga siapa sesungguhnya kelompok perempuan yang paling rentan dalam hal ini yaitu perempuan tua yang hidup sendiri- perempuan kepala keluarga. Dan pendekatan khusus harus diberikan pada mereka.
Marginalized Women and Girls
Panel diskusi ini mengangkat isu kelompok marginal dimana pembangunan di banyak tempat meninggalkan mereka. Isu disabilitas, perempuan kepala rumah tangga, dan idengenous women menjadi common issue di berbagai negara. Kebijakan terkait dengan kelompok disabilitas telah dibuat di berbagai negara, misalnya Uganda dimana untuk memastikan quota disabilitas di dalam parlemen mereka membuat disabiity council, dimana mereka akan melakukan advokasi kebijakan disabilitas. Hanya perwakilan CSO , Australian Lesbian Medical Association, yang mendorongkan pentingnya pengakuan hak-hak lesbian karena kelompok ini banyak yang mendapatkan diskriminasi, dibunuh, dipenjara karena berbeda orientasi seksualnya. Sayangnya Indonesia justru menyoroti tentang traffiking, MMR, VAW dan sedikit bicara anak jalanan dan neglected girls. Sementara persoalan minoritas agama, indegenous women, disabilitas, elderly, dan sebagainya belum jadi sorotan.
Beijing +20; Broken Promises, the Need of Accountability
Panel yang diselenggarakan oleh APWLD , Asia Pacific Women Law and Development menekankan pada pentingya akuntabilis negara untuk menjalankan kerangka Beijing Platform for Action. Kate Lapin dari APWLD menegaskan bahwa mengikuti proses negosiasi bahasa sangat melelahkan, karena setiap negara memiliki tafsir dan standard pemenuhan sendiri. Maka penting bagi CSO mengambil fokus lain yaitu memastikan akuntabilitas pemerintah. Helena dari Kenya memberikan contoh bagaimana akuntabiltias pemerintah pada situasi pasca konflik, misalnya ketegangan ex combatan dengan pemerintah, perempuan korban tidak mendapatkan restitusi, karena proses paska konflik yaitu recovery, rehabilitation, disamarment, tidak berjalan dengan baik. Di Nepal, Ranu mencatat bahwa pelaksanaan RAN 1325 tidak memberikan perhatian pada korban kekerasan seksual, dan mekanisme peradilan belum maksimal dijalankan. Kasus Philipine menyorot pemerintah Philipine yang lebih memberikan kemudahan pada investor ketimbang memastikan perlindungan hutan dan indegenous women. Pertambangan telah banyak merusak kehidupan indegenous women, tetapi akses keadilan buat mereka masih terus diperjuangkan.
Copenhagen Meeting Beijing
Deklarasi Copenhagen lair pada tahun 1995 berisi tenrtang perempuan dan kemiskinan, dimana diperlukan pemberdayaan perempuan dan anak. Meskipun spirit dokumen sama denga Beijing, tetapi tidak ada koneksi langsung, sehingga dibutuhkan CSO untuk menjembatani kedua deklarasi penting ini. Jembatan yang bisa dibuat adalah meletakkan fokus kampanye pada anak perempuan terutama pada usia 10-14 tahun karena mereka sangat rentan terhadap kekerasan
seksual, drop out dari sekolah, kehamilan tidak diinginkan, dipaksa menikah oleh orang tua dan sebagainya. Menyelamatkan fase belajar anak perempuan, akan banyak menyelamatkan hidup perempuan.
Beijing +20; Research on Sexual Violence
Side event yang diselenggarakan oleh Endevour Forum, sebuah kelompok konservatif yang didukung vatikan. Temuan riset mereka tentang Aborsi berdampak pada kanker payudara. Aborsi juga dianggap berkontribusi pada kerusakan mental pada ibu. Pentingnya untuk memperhatikan well-being perempuan. Olehkarenanya gerakan aborsi aman dianggap mencederai well- being perempuan dan menimbulkan banyak kerusakan mental
perempuan. Kelompok ini sangat menentang adanya aborsi aman karena melanggar takdir kehidupan.
Women, Peace and Security
Workshop diselenggarakan oleh international Alliane of Women, bertujuan memperkenalkan General Recomendation 30 pada CEDAW kepada audiense sebagai instrumen penting untuk memperjuangkan perempuan di daerah konflik. Keberadaan UNSCR 1325 memang telah menjadi framework bersama pada aktifis perempuan dan perdamaian, dan menurut survey yang ada resolusi ini tetap hidup karena kerja kerasa CSO dalam menurunkannya ke dalam RAN. Tetapi di banyak negara RAN 1325 belum begitu maksimal diimplementasikan karena dianggap tidak mengikat. Maka keberadaan GR 30 dari CEDAW memberikan alterantif mekanisme agar pemerintah mau merespon persoalan perempuan dalam konflik .Tantangannya adalah mempertemukan kelompok perempuan yang bekerja untuk konflik dan perdamaian, dengan kelompok review CEDAW
The Re-Making of Social Contract
Workshop ini diselenggarakan oleh DAWN (Development Alternatives with Women for a New Era) membuat refleksi bersama tentang komplesitas interpaly ekonomi, politil, ekologi dan sosial, yang menjadi tantangan pada abad 21. Politik mengendalikan banyak hal, sehingga banyak membawa konsekuensi subordinate, opresi, exploitasi, esklusi sosial kelompok minoritas. Kekuatan militer masih populer dipakai oleh penguasa, dan secara gradual diprivatisasi oleh perusahaan-perusahaan untuk mengamankan praktis bisnis yang abai pada kemanusiaan dan lingkungan. Sementara itu human rights belum menjadi basis dari pembangunan, secara bersaman akuntabiitas sektor swasta juga belum menjadi wacana penting dalam pembangunan yang bisa dikuatkan untuk mendukung pundi pembiayaan pembangunan kita.Dimana CSO? Kita perlu lebih cermat menghadapi situasi yang ada dalam negri dan menurut saya CSOs perlu merapatkan barisan, memberi kekuatan pada satu sama lain sehingga dapat membuat strategi baru.
***