Amplifying People-Centered Diplomacy of Indonesia in The 59 CSW on Beijing +20


People-Centered Diplomacy. Secara sederhana diartikan diplomasi yang berbasis pada kepentingan rakyat. Dengan Nawacita yang pertama “Menghadirkan kembali negara untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara”, maka diplomsi internasional Indonesia saat ini berpijak pada upaya melindungi bangsa dan memberikan rasa aman bagi setiap warga negara. Ini artinya Indonesia telah mengakhiri model diplomasi pemerintahan sebelumnya ‘Zero Enemy and Million Friends’ .Ini adalah angin segar bagi masyarakat sipil yang sedang menjalankan advokasi internasional, karena ruang dialog akan terbuka lebar untuk mendorongkan isu-isu prioritas anak bangsa agar bisa didengungkan lebih keras lagi di level internasional. 
Tampaknya, people-centered diplomacy belum begitu terlihat dalam forum multilateral dimana Indonesia diminta untuk memainkan peran penting di Asia Pasific. Pada Konferensi Asia Pasific tentang Review Beijing +20, yang diselenggarakan oleh UNESCAP di Bangkok pada tanggal 17-20 November 2014 lalu, belum sepenuhnya menjalankan people-centered diplomacy seperti yang didengungkan oleh Presiden Joko Widodo, khususnya jika isu-isu krusial menyangkut diversitas dalam bentuk-bentuk keluarga yang ini bertentangan dengan budaya Indonesia yang mengenal multi form of families seperti extended family, keluarga dengan perempuan sebagai kepala keluarga, keluarga tanpa orang tua, dan sebagainya. Kedua, isu hak-hak seksual, masih dipahami secara sempit oleh delegasi pemerintah Indonesia hanya pada sexual expression and gender identity (SOGIE), padahal hak seksual itu secara lebih lengkap didefinisikan sebagai berikut:


 “Sexual rights protect all people's rights to fulfil and express their sexuality and enjoy sexual health, with due regard for the rights of others and within a framework of protection against discrimination." (WHO, 2006a, updated 2010)

Menggarisbawahi outcome document konferensi Asia Pacific yang dikeluarkan oleh UNESCAP pada tanggal 24 November 2014, States member, termasuk Indonesia bersepakat untuk memberikan concern pada isu kekerasan pada anak perempuan, termasuk perkawinan dini dan secara paksa, serta layanan kesehatan reproduksi dan seksual bagi remaja. Ini adalah angin segar yang akan diteguhkan kembali komitmen bangsa Indonesia untuk mengakhiri praktek perwakinan anak, yang banyak menyumbangkan pada Angka Kematian Ibu (AKI) dan generasi yang tidak sehat seperti yang dilaporkan oleh WHO: “Adolescent pregnancy remains a major contributor to maternal and child mortality, and to the cycle of ill-health and poverty” (WHO, fact sheet, September 2014). Belum diterimanya judicial review UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana masyarakat sipil mengajukan penambahan usia menikah anak perempuan dan laki-laki diatas 18 tahun karena pertimbangan kematangan psikologis dan alat-alat reproduksi, serta kesempatan berkarir.

Indonesia secara tidak lansung bersepakat mendukung  penguatan kerangka kerja legal dan kebijakan untuk perlindungan pekerja migrant dan keluarganya, termasuk dalam menyediakan akses termudah bagi mereka untuk mendapatkan pinjaman dan layanan dari institusi keuangan. Artinya bahwa pemerintah Indonesia telah siap untuk memperbaiki hukum nasional dalam hal perlindungan hak-hak buruh migrant dan pekerja di sektor informal. Meskipun pada kenyataannya isu perlindungan buruh migrant tidak ada dalam statemen resmi negara di konferensi asia pacific di Bangkok tahun lalu. padahal 9 dari 13 foto perempuan migrant yang diadvokasi oleh PBB adalah buruh migran perempuan Indonesia.

Pemerintah Indonesia juga diminta untuk berkomitmen pada pemenuhan kesehatan reproduksi dan seksual dan pemenuhan hak-hak reproduksi, termasuk memperkenalkan human sexuality di sekolah dan menghilangkan aturan hukum yang masih memberikan hukuman pada remaja atu perempuan yang melakukan aborsi.  Demikian cuplikan lengkapnya”

“We also note the need for greater progress in relation to the respect, promotion and protection of sexual and reproductive health and reproductive rights for all, including access to comprehensive sexual and reproductive health information and services, access to age-appropriate, comprehensive evidence-based education for human sexuality, and the removal of legal, structural, economic and social barriers, including considering the review and repeal of laws that punish women and girls who have undergone abortions. We further note the need to end child, early and forced marriage and unwanted pregnancies among women and girls in the region (halaman 7).

Dalam rangka persiapan menghadiri  forum PBB the Commission on the Status of Women (CSW) ke 59  yang akan dilaksanakan pada tanggal 9-20 Maret 2014, akan melakukan review global Beijing Platform for Action selama 20 tahun. Begitu pentingnya momentum ini bagi nasib perempuan dunia, termasuk dalam melihat tingkat keseriusan pemerintah Indonesia dalam menerapkan people-centered diplomacy untuk melihat persoalan gender, pembangunan dan perdamaian. 

Gerakan Perempuan Peduli Indonesia untuk Beijing +20 telah menjajaki posisi Indonesia dimana isu-isu safe abortion, various form of families, sexual rights, masih velum jelas mencerminkan keberpihakan pada masyarakat. Lantas, apakah dengan diplomasi baru Pemerintah Jokowi-JK mampu mengubah posisi Indonesia di mata dunia dalam hal komitmen negara pada kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Fakta bahwa tingginya AKI di Indonesia, salah satunya hasil dari diplomasi sebelumnya dengan konsep "zero enemy and million friends". Lantas, apakah para diplomat negeri ini akan benar-benar memikirkan rakyat? Kita lihat nanti pada tangal 9-20 Maret. ***

Rapor 100 Hari Jokowi-JK dari Perspektif Perempuan



Rasa aman dan melindungi
Pemberantasan korupsi dan penegakan hukum 
Pelayanan publik
Daulat pangan berbasis agribisnis kerakyatan 
Daulat energi berbasis pada kepentingan nasional
Restorasi ekonomi maritim Indonesia 
Emansipasi
Kemandirian 
Kebhinekaan
(Nawacita Jokowi-JK)

Menghadirkan Negara yang Bekerja, adalah salah satu tujuan Nawacita. Ada tiga elemen penting yang ditargetkan oleh Pemerintah Baru dalam menghadirkan negara langsung yaitu memberikan rasa aman dan melindungi, pemberantasan korupsi dan penegakan hukum dan Pelayanan Publik. 100 Hari bekerja, negara betul-betul hadir dalam bentuk charity pada masyarakat melalui Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan berbagai jenis bantuan sosial lainnya. Pembenahan Birokrasi juga secara terus menerus dilakukan, bukan hanya tampak pada perubahan fisik kantor pemerintahan, tetapi juga perubahan nomenklatur kementerian dan birokrasi di dalamnya yang kesemuanya ditujukan untuk membuat tata kelolah yang efektif dan ramping. 

Namun dalam hal memberikan rasa aman bagi warga negara terutama perempuan kehadiran negara belum dirasakan secara utuh. Sebut saja penembakan-penembakan liar di Papua, Poso dan Aceh, berdampak serius pada warga karena tidak bisa menjalankan aktifitas normal sehari-hari. Negara begitu tegas dalam merespon kasus narkoba, tetapi tidak pada kasus kekerasan terhadap perempuan. Eksekusi hukuman mati bagi para pengedar narkoba dianggap sebagai dianggap urgen karena tingginya angka pemakai narkoba yang setiap harinya ada 50 orang meninggal. Padahal dalam catatan KOMNAS Perempuan, setiap 1 jam ada 28 perempuan mengalami kekerasan. Tidak diprioritaskannya kekerasan terhadap perempuan dalam jajaran kementerian terlihat sekali pada sikap pemerintah dalam Forum regional Asia Pasific Beijing +20 yang baru-baru ini diselenggarakan di Bangkok pada 17-20 November 2014, dimana pemerintah tidak mendukung perlindungan pada perempuan dalam bidang hak seksualitas dan menolak diversitas dalam keluarga. Ini sangat nyata bahwa pemerintah belum menaruh perhatian khusus pada isu perempuan. 
Komitmen pada kebebasan beragama sangat tinggi. Meskipun terlihat lamban dalam hal merespon kasus-kasus pelanggaran HAM pada minoritas. selama 100 hari kerja, tidak ada kemajuan dalam upaya mengembalikan pengungsi ke tanah asalnya. Bahkan, kasus yang sudah jelas seperti pembukaan segel GKI Yasmin juga belum terlihat progresnya. 
Dalam hal memperkuat kesejahteraan masyarakat, negara sangat terlihat melakukan reformasi pada bidang kemaritiman dengan pemberantasan Illegal Fishing, dan perlahan juga memperkuat bantuan pada petani dan nelayan. Ketegasan pemerintah dalam menangkap para pencuri ikan sangat berdampak pada peningkatan hasil tangkapan nelayan. Keberanian ini diharapkan juga sama gigihnya untuk menjamin kesejahteraan bagi kelompok minoritas seperti Ahmadyah dan Shia yang tinggal di pengungsian. Program pengentasan kemiskinan masih banyak didominasi bidang charity dan belum terlihat penguatan pada program affirmatifnya.
Akhirnya, Revolusi Mental adalah bagian pekerjaan pemerintah yang masih lemah. Dihentikannya kurikulum 2013, dibukanya direktorat ayah bunda, belum signifikan sebagai basis revolusi mental. Justru revolusi mental terkait dengan memperkuat perspektif gender masih belum terlihat gerakknya. Ini adalah pilar paling penting yang akan bisa membongkar cara pandang bangsa Indonesia. Tetapi justru usaha di bidang revolusi mental tidak menunjukkan kemajuan berarti. Presiden sangat memfokuskan pada bidang ekonomi dan pembangunan infrastruktur, sehingga elemen software kurang mendapatkan perhatian. 
Kami, atas nama Indonesia Beragam, koalisi 143 lembaga perempuan, merasa peduli untuk mengingatkan pemerintah bahwa masih banyak persoalan urgen yang justru tidak menjadi prioritas pembangunan Pemerintah Baru. Rapor 100 Hari Jokowi ini kami bangun dari pengamatan   media dan juga hasil dari keterlibatan langsung pada kegiatan kementerian. 
Rapor 100 Hari Jokowi adalah review kinerja Pemeirntah Baru dalam menjalankan program prioritas atau yang disebut Quick Win. Metodologi yang dipakai dalam melihat capaian dari kinerja Kabinet Kerja adalah menggunakan ukuran dari prioritas setiap kementerian terkait dengan 10 Agenda politik Perempuan, yaitu: 
  1. Kesehatan reproduksi dan seksualitas 
  2. Hak atas pendidikan 
  3. Kekerasan terhadap PErempuan 
  4. Pemiskinan PErempuan 
  5. Perempuan dalam konflik dan bencana, serta pengelolaan linkgungan dan SDA
  6. Hak atas pekerjan yang layak 
  7. Hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan
  8. Hak Politik Perempuan 
  9. Penghapusan hukum diskriminatif 
  10. Penghentian Korupsi

Indikator ditetapkan secara fleksibel tetapi mengandung beberapa indikator kunci seperti: 
  1. Komitmen pada pengarusutamaan gender (PUG)
  2. Komitmen pada penghentian kekerasan terhadap perempuan 
  3. Produk hukum dan kebijakan yang terkait dengan isu
  4. Quick Win 

Skor evaluasi disepakati menggunakan ukuran sebagai berikut:

A : 8-10à artinya sesuai atau mengarah pada Nawacita (diberi warna hijau)
B:  6-7à artinya hanya sebagian kecil yang mengarah pada Nawacita (warna kuning)
C:  4-5à artinya cenderung tidak mengarah pada Nawacita (warna merah)

Kami berharap dengan rapor ini, pemerintah bisa memperbaiki kinerjanya dan menempatkan agenda perempuan menjadi prioritas yang bangsa yang sama pentingnya dengan membangun kedaulatan bangsa.

Secara lengkap Rapor 100 Hari Jokowi-JK bisa dilihat disini
Jakarta, 3 Februari 2015

INDONESIA BERAGAM 

Kontak Person: 

1. Dwi Rubiyanti K (08129448741), Kordinator
2. Anis Hidayah (081578722874)
3. Misiyah (08111492264)

4. Dian Kartikasari (0816759865)