Empowering Village, Protecting Minority?

Empowering Village, Protecting Minority?
73.000 villages exist in Indonesia. This is one of essential reason why specific regulation on the villages need to be formulated in Indonesia. UU (Act) No. 6 Year 2014 regarding the The Village just inaugurated as one of biggest achievement of Indonesia Civil Societies in advocating the shifting paradigm of policy makers from centralized approach to development to decentralization, where villages will have autonomy to manage there administration, human resources and natural resources for the purpose of people's welfare. This writing is aimed to discuss about possibilities of improvement of protection of minority groups through The Village Act No. 6 Year 2014.  

Firstly, The Village Act content shows strongly opportunities for villages to use their local resources to fulfill the need of people, at the same time, the national government will provide financial support 1,4 Billion IDR (about 1,4 Million USD) to build the village as well as the neighboring areas. In term of authority, the village will have their own electoral system to elect the head of village, to select the suitable people to sit on the village's bureaucracy to support development. Including to hold human rights principles in governing the people (article 29), which she or he is not allowed to detriment the public interest.

Secondly, in regard to the previous point  "detrimental the public interest", Article 29 is clearly stated that the village head cannot discriminate his/her people on the basis of identity or certain group. In my opinion, this should be applicable for condition where the Village Head should respect to diverse groups and protect them from any harmful act caused by their ethnic, religious or gender identity. 

I am a bit optimistic looking at a window in the Village Act, to advocate for protection of Minority Rights in the village level, because 222 violation of minority rights in 2013 were happened in the village level. When the village head has stronger authority to protect the village territory as asset for development, in case of minority, it is also more powerful to protect the villages with diverse background from the violent groups coming from other village, because this Act allows the village authority to use local mechanism to protect their people and maintain peaceful state.   

With strong people participation that is also bold on the chapter six, where people must actively engage in the development planning, implementation and monitoring evaluation and support the village administration to create peaceful society, preserve and promote local wisdom regarding consensus building, collective work, and family-based approach in building relation.

However, this Act may express different story, when the person who is elected to be the Village Head has a narrow-minded perspective over good governance, human women's rights, and other principles than discrimination against minority and ignorance of public goods for minority definitely will occur. Therefore, people's political participation must be toned up. It is also important to always equip the village with critical thinking, they could play optimal roles as independent agency to stand-by with constructive criticism for Village authority to always prioritize public interest, instead of individual or group interest. On the other hand, Civil Societies also must equip the village bureaucracy with practical knowledge and skill on transformative leadership, program and financial management as commitment to principles of transparency and accountability and human women's rights as basis approach to any policy. ***

Public Private Partnership: Learning from Bohol Province in The Phillipines

Public Private Partnership: Learning from Bohol Province in The Phillipines
Banyak orang meragukan konsep Public Private Partnership (PPP). Pertama, karena PPP mengindikasikan sesuatu yang mustahil, dimana tujuan dari private sektor dan publik sektor jelas-jelas bertolak belakang, bak kutub utara dan selatan. Private sektor dianggap berorientasi pada profit semata, sementara sektor publik berorientasi pada pelayanan pada masyarakat. Yang kedua, tidak ada yang bisa menjamin apakah private sector bener-bener tulus dalam menyejahterakan masyarakat. Kekhawatiran lain terhadap konsep PPP adalah munculnya "profit-driven" dimana Sektor Private menitikberatkan pada keuntungan semata, sehingga ini sangat ditakutkan dapat mengurangi esensi dari pelayanan publik yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. 

Berbagaimanapun kekhawatiran tentang PPP, tentu saja memiliki alasan yang kuat. Tulisan ini bertujuan memberikan contoh bagaimana bentuk konkrit PPP diterapkan di masyarakat. Melalui Asia Development Fellows Program yang digagas oleh The Asia Foundation, dimana 10 Fellows yang terpilih diberikan kesempatan untuk mematangkan ketrampilan dan pengetahuan Leadership di Lee Kuan Yu School of Public Policy pada tanggal 4-8 April 2014, kemudian dilanjutkan belajar praktek terbaik di Philipina, dimana Propinsi Bohol menjadi salah satu tempat tujuan selama study visit. 

Bertemu langsung dengan Pak Gubernur Bohol, Edgar M. Chatto, di rumah dinasnya di Kota Tagbilaran pada tanggal 11 April 2014, kami belajar bagaimana PPP diterapkan dengan sederhana dan berbuah manis. 6 bulan pasca gempa bumi berkekuatan 7,2 skala richter dalam kedalaman 20 miles, yang menghancurkan propinsi Bohol, menjadi test case dari sebuah kerjasama yang baik antara pemerintah Propinsi Bohol dengan sektor private di tingkat propinsi. Gubernur Chatto sangat jelas membeberkan peran pemerintah, sektor private dan juga CSOs, bukan saja peran sosialnya, tetapi juga berbagi tanggungjawab memberikan dukungan pendanaan pada proses pemulihan dan rehabilitasi Bohol. 

Pemerintah Bohol secara tegas memfokuskan dukungan pada perbaikan jalan dan jembatan yang rusak. Ini karena dua infrastruktur ini adalah kunci mobilitas warga Bohol, sehingga ini menjadi prioritas pemerintah dalam memulihkan kondisi Bohol. Walhasil, pada saat kunjungan saya ke Bohol, saya cukup terkejut melihat bahwa hampir semua infrastruktur jalan dan jembatan yang menghubungkan antar pulau sudah bisa dioperasionalkan. Saya penasaran sekali dengan motivasi sektor private dalam mendukung program pemerintah. Karena tidak mendapatkan kesempatan untuk berdialog dengan private sektor, maka saya mencuri tahu dengan menanyakan langsung pada Reyna C. Deloso, gadis cantik yang setia menemani perjalanan kita selama di Bohol tentang perspektif dia sebagai bagian dari sektor private untuk menolong masyarakat yang terkena musibah dan dia menjawab, "Private sector benefits if the community is peaceful and safe. It is in such state that business thrives, service delivery is easy and accessible. Thus the community becomes more livable". 

Ini sebuah transformasi. Saya jadi ingat pada trend pendekatan private sektor dalam dinamika perdebatan di Post 2015 Development Agenda, dimana rights-based approach dipakai oleh Sektor Private sebagai pendekatan untuk mensukseskan bisnis. Jika pemerintah dan private sektor memberikan perhatian pada infrastruktur seperti jalan dan jembatan, lantas dimana peran CSO? Mereka terkordinasikan di dalam kerja-kerja rehabilitasi dan pycho social, termasuk juga diarahkan untuk memperbaiki rumah penduduk yang rusak dan upaya memberdayakan masyarakat. 

Apakah ini benar-benar sebuah contoh yang baik tentang PPP, tentu saya tidak bisa memastikan karena kunjungan ke Bohol Island hanya 1 hari dan itupun begitu padat. Tetapi, perjumpaan langsung dengan para survivor yaitu komunitas sekolah SMA yang hancur luluh. Dari cara para guru menyemangati para murid dengan menggunakan kata "padayung" (move on)  bukan "bangun" (bangkit) sangat kelihatan bahwa semangat yang disebarkan oleh pemimpinan di Bohol, begitu kuat terinternalisasi dalam diri setiap warga. Harmonisnya hubungan pemerintah dan private sector begitu terasa dalam perjamuan informal di Rumah Dinas Pak Gubernur Bohol. Beliau adalah Jokowi-nya Philipina. Beruntung saya bisa bertemu langsung dan berbincang tentang model pembangunan di Bohol dimana Bali dijadikan model utama dengan memberikan ornamen penting pada pelestarian alam, karena mereka tidak memiliki kekuatan budaya seperti Bali. *** 




Kertas Posisi (2) Kondisi Perempuan & Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

Kertas Posisi (2) Kondisi Perempuan & Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia
Awal bulan February 2014, AMAN Indonesia mengundang Siti Rohmah untuk menghadiri workshop capacity building di Jakarta. Sayangnya ijin tidak bisa didapat. Gadis 14 tahun ini salah seorang pengungsi Syiah Sampang yang sehari-hari mengajar baca tulis anak-anak dan ibu-ibu di rusun Puspo Agro Jemundo Sidoarjo. Keinginannya untuk meneruskan pendidikan di SLTP harus dipendam, karena kedua orang tuanya kurang mampu. Belum lagi penyakit kronis yang dialaminya, membuat hampir semua asset keluarganya terjual. Gambaran ini lengkap menceritakan betapa malang ia terusir dari tanah kelahirannya, tidak berdaya untuk mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan, hanya karena ia bagian dari kelompok minoritas (agama). Rohmah juga harus mengubur dalam-dalam keinginan dia untuk menikmati “kemewahan” mendapatkan kesempatan belajar. Kesulitan mendapatkan ijin dari keluarga atau dari pimpinan organisasi membuat banyak perempuan minoritas terhabat proses keberdayaannya. Padahal mereka mendapatkan diskriminasi berlapis dan mengalami bentuk kekerasan yang ekstrim pada saat penyerangan.
Pada Kasus penyerangan di Lombok Barat, Komnas Perempuan melaporkan perempuan Ahmadiyah Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, mengalami penurunan kesehatan pasca penyerangan. Seorang ibu korban penyerangan mengalami tekanan sampai tidak mau makan selama tiga hari dan mengalami stress hingga akhirnya harus dirawat di RSJ Mataram. Ibu lainnya mengalami keguguran pada usia kehamilan 4 bulan. Keguguran itu diduga akibat beban menggendong anaknya yang berumur 5 tahun saat menyelamatkan diri dari serangan massa. Setelah seminggu tinggal di pengungsian, ia mengalami keguguran dan akhirnya dilarikan ke RSU Mataram. Ibu-ibu lainnya mengaku kesehatan reproduksi termasuk penggunaan alat kontrasepsi menjadi terabaikan sejak penyerangan dan tinggal di pengungsian.[1]
         Sejak insiden penyerangan warga syiah di Sampang pada Desember 2011, sampai saat ini menyisakan banyak penderitaan, terputusnya akses ekonomi, pendidikan, dan juga tercerabutnya kemerdekaan beribadah dan berinteraksi dengan masyarakat luar karena harus hidup dibawah kontrol Pemerintah Daerah selama menempati Rusunawa Puspo Argo di Sidoarjo. Tercerabutnya kemerdekaan untuk beribadah juga dirasakan oleh ratusan warga HKBP Filadefia-Bekasi, HKBP Getsemani, Pondok Timur Bekasi dan GKI Yasmin Bogor. Dimana surat sakti kemenangan gugat keabsahan pendirian gereja tidak lantas membuka borgol gereja. Sampai saat ini, mereka masih beribadah di pinggir jalan dan di depan Istana Merdeka. Perempuan-perempuan ini juga bukan saja mengalami tekanan, terror, dan intimindasi, tetapi juga mengalami dilemma besar mengajarkan tentang toleransi pada anak-anak mereka. “ Anak saya merasa takut melihat orang berjilbab”, curhat Bu Ning.
Jika kita melihat data yang dikeluarkan oleh SETARA Institute, tahun 2013, kejadian kekerasan mencapai 222 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan 292 bentuk tindakan yang tersebar di 20 provinsi. Terdapat 117 tindakan negara yang melibatkan para penyelenggara negara sebagai actor, dan 175 tindakan yang dilakukan oleh aktor non Negara. Seperti hasil pemantauan pada tahun-tahun sebelumnya, angka pelanggaran tertinggi terjadi di Jawa Barat.Jawa Barat menjadi tempat tumbuh suburnya pelanggaran , yaitu dengan 80 peristiwa pada tahun 2013. Disusul kemudian oleh 5 provinsi lainnya dengan tingkat pelanggaran paling tinggi yaitu;Jawa Timur (29), Jakarta (20), dan Jawa Tengah (19) peristiwa, serta Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan (masing-masing15 dan 12 peristiwa). Dengan demikian, meskipun terjadi penurunan dari angka tahun lalu, angka pelanggaran masih sangat tinggi, yaitu rata-rata 18,5 peristiwa dan 2,433 tindakan setiap bulan. Wilayah sebaran tertinggi juga tidak banyak berubah, selain dengan meningkatnya angka pelanggaran di Sumatera Utara.[2]
Di dalam disiplin hak asasi manusia, ada tiga bentuk pelanggaran oleh negara, yaitu; [a]dengan cara melakukan tindakan aktif yang memungkinkan terjadinya pembatasan, pembedaan, campur tangan, dan atau menghalang-halangi penikmatan kebebasan seseorang dalam beragama/berkeyakinan (by commission);[b] dengan cara membiarkan hak-hak seseorang menjadi terlanggar (by omission),termasuk membiarkan setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang tidak diproses secara hukum, dan (c) dengan cara membuat peraturan yang memberikan peluang bagi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (by rule/judiciary). Sedangkan bentuk pelanggaran oleh actor non Negara berupa ancaman kekerasan, pengusiran, penutupan rumah ibadah, penyerangan, penutupan akses publik dan lain-lain.

Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia
25 November 1981 telah dicetuskan melalui resolusi Sidang Umum PBB No 36/55 tentang Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan (Declaration on The Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based On Religion Or Belief). Deklarasi Beijing dan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), yang diadopsi tahun 1979 oleh General Assembly PBB merupakan kesepakatan mengikat tentang pemenuhan hak-hak perempuan, termasuk bebas dari kekerasan dan rasa takut. Ini juga sudah diratifikasi oleh Indonesia menjadi UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi aturan Internasional terhadap Penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Pada tahun 2005, komitmen jaminan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan semakin kuat ketika Indonesia meratifikasi Kovenan Internasonal Hak-Hak Sipil dan Politik (the International Covenan on Civil and Political Rights-ICCPR). Ratifikasi ini berimplikasi bahwa negara harus melindungi dan menjamin hak-hak yang dijaminan Kovenan, negara harus melakukan segala upaya perlindungan baik jaminan hukum atau kebijakan yang sesuai dengan Konvenan, dan mewajibkan negara untuk melakukan tindakan pemulihan (remedy) kepada korban pelanggaran hak-hak yang diatur dalam Kovenan.[3] Merujuk pada pasal 18 Kovenan yang mengatur tentang kebebasan berfikir, beragama atau berkeyakinan, negara Indonesia mempunyai kewajiban melindungi kebebasan berfikir, beragama atau berkeyakinan, dan melakukan langkah-langkah untuk menjamin perlindungan dengan melakukan tindakan administratif, legislatif maupun hukum, dan juga memberikan jaminan atas pemulihan terhadap pada korban pelanggaran hak-hak yang dijamin dalam Kovenan[4].
Jaminan kemerdekaan beragama juga bisa dilihat pada UU No. 39 tahun 1999, dimana setiap individu dijamin haknya untuk bebas dari tindakan dan perlakukan yang diskriminatif diantaranya; setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi. Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum, dan berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak.[5]
Komitmen negara untuk melindungi hak dasar warga negara dituangkan dalam UUD 1945 amandemen tahun 2000, yang tercurah pada pasal 28E Ayat (1) dan (2), Pasal 28I, dan Pasal 29 ayat (2). UU no 39/1999 tentang HAM dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Konvenan Sipil dan Politik semakin mempertegas jaminan kebebasan beragama. Kebebasan beragama merupakan hak fundamental setiap individu yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Negara selain mempunyai kewajiban untuk menjamin hak fundamental itu, juga wajib untuk memastikan bahwa setiap warga Negara khususnya kelompok minoritas terbebas dari sasaran diskriminasi.
Dari segala bentuk perlindungan negara terhadap hak-haknya, elemen perlindungan hak-hak perempuan dan pemberdayaan perempuan minoritas seharusnya menjadi perhatian khusus karena kondisi rentan mereka dalam struktur dan sistem masyarakat kita yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Perempuan selalu ditempatkan pada posisi paling rentan terhadap diskriminasi dan kekerasan.

Rekomendasi

Untuk itu, di tahun politik ini perlu diperjuangkan agenda politik yang  mampu membawa angin perubahan untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi semua warga Negara Indonesia. Selain itu segala bentuk kebijakan yang mengkhianati UUD RI 1945 harus dihapuskan demi Indonesia yang beradab dan bermartabat. Penegakan hukum bagi kelompok-kelompok pelaku kekerasan harus dilakukan agar kekerasan yang terjadi tidak akan melahirkan kekerasan-kekerasan lainnya. Berikut rekomendasi untuk agenda politik 2014:
1. Negara wajib memberikan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta pelaksanaan ibadah bagi semua warga Negara. 
2. Penghapusan segala kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas dan perempuan.
3. Pengembalian warga minoritas yang masih tinggal dikembali kelompok minoritas yang terusir dari tanah kelahirannya. 
4. Pengembalian asset milik kelompok minoritas(agama). 
5. Penegakan hukum bagi kelompok pelaku kekerasan dengan memberikan hukuman yang adil, rehabilitasi dan resitusi korban kekerasan seksual dan berbasis gender 
6. Pemenuhan hak-hak reproduksi korban kekerasan seksual dan berbasis gender selama masa recovery dan rehabilitasi

Ditulis oleh Hanifah dan Ruby Kholifah untuk kepentingan Indonesia Beragam



[1]Dwi Rubiyanti K dkk, 2012, “ Catatan Awal Tahun 2012 tentang Kondisi Kebebasan Beragama Indonesia”, Dewan Koordinator (DK) Sektor Demokrasi dan HAM
[2]Ringkasan Eksekutif SETARA Institute Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2013.
[3] Lihat Pasal 2 ayat (1), (2) dan (3) Kovenan Internasonal Hak-Hak Sipil dan Politik.
[4]Zainal Abidin dalam Catatan Awal Tahun Kondisi Kebebasan Beragama, diterbitkan oleh Dewan Kordinator Demokrasi dan HAM
[5] Lihat Pasal 3, Pasal 5 dan pasal 17 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia