Membangun Perdamaian Lewat Melek Huruf

Membangun Perdamaian Lewat Melek Huruf
102.597 orang di Sampang buta huruf, menurut data yang disampaikan oleh Ketua Komisi D DPRD setempat, Amin Arif Tirtana. Data ini disampaikan pada tahun 2012. Tingginya angka buta huruf ini tentu mengandung konsekuensi-konsekuensi sepertinya rasa tidak percaya diri karena hanya memiliki keterbatasan pengetahuan dan skill. Biasanya orang yang buta huruf hanya mengandalkan transfer pengetahuan melalui praktek-praktek dari generasi sebelumnya. Buta huruf juga sangat rentan terhadap praktek penipuan karena yang bersangkutan tidak bisa membaca dokumen. Dalam konteks ketegangan sosial antara Shia dan Sunni di Sampang, dokumen-dokumen bukti tentang fakta-fakta Shia tentu kesulitan diakses oleh sebagian banyak orang karena kondisi buta huruf mereka. Untuk itu mereka sangat mengandalkan kabar yang mereka dengar dari tetangga, saudara, atau kyai, yang kesemuanya menyampaikan interpretasi personal. Bisa dibayangkan warga yang buta huruf, mereka tentu punya keterbatasan untuk mengcross check dengan dokumen-dokumen yang tersedia. keterbatasan-keterbatasan inilah yang membuat suasana relasi shia dan sunni semakin terpuruk. 

Dalam laporan MDGs tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Bapennas, Indonesia memang dianggap berhasil untuk meningkatkan jumlah melek huruf usia 14-24 tahun sejumlah 99,47%, dimana tingkat melek huruf di kalangan perempuan mencapai 99,40% dan melek huruf pada laki-laki mencapai 99,55%. Tentu saja figur nasional ini tidak bisa dijadikan ukuran, sebelum kita melihat di tingkat kabupaten. Angka buta huruf yang disampaikan di atas adalah realitas konkrit buta huruf di tingkat yang lebih rendah. 

Saat ini pemerintah nasional maupun propinsi sedang mempersiapkan penyelesaian kasus Sampang, dengan berupaya mengembalikan warga shia yang dipaksa relokasi di Rumah Susun Puspo Agro di Sidoarjo Jawa Timur. Semua orang tampaknya fokus pada persoalan bagaimana mengurai ketegangan dengan menggunakan pendekatan yang mengarah pada sumber masalah selama ini yaitu perbedaan keyakinan. Artinya tim rekonsiliasi memang ingin menyelesaikan persoalan konflik shia dan sunni di Sampang dengan melakukan penyadaran pada kedua belah pihak untuk tidak bisa menerima perbedaan. Tentu saja ini akan sangat memakan waktu karena kubu Sunni tentu saja tidak secara mudah menerima kondisi ini, meskipun opini publik mengarahkan pada penerimaan kembali warga shia ke Sampang. 

Dalam tulisan ini saya ingin menawarkan cara lain untuk mengurai ketegangan di Sampang yaitu melalui peningkatan angka melek huruf pada warga Sampang. Tentu saja arahan saya adalah meningkatkan melek huruf diantara warga shia dan sunni. Ini akan membutuhkan waktu yang cukup lama, tetapi kita akan melihat dampak signifikan terkait dengan peningkatan rasa percaya diri sehingga mengurangi ketergantungan warga pada patron klien mereka. Melek huruf pada warga shia dan sunni akan membantu mempercepat pembangunan karena warga bisa berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan dimana semua akses dokumen terkait dengan kemajuan pembangunan bisa dibaca oleh semua warga. Kondisi melek huruf yang membaik di kalangan Sunni dan Shia juga dapat mencairkan ketegangan diantara merkea, karena keduanya dapat mengcross check setiap informasi yang negatif tentang salah satu kelompok, pada dokumen yang tersedia. Proses belajar melek huruf bisa dijadikan sebagai media rekonsiliasi warga yang buta huruf dengan memperkuat penanaman nilai-nilai toleransi dan kebhinekaan dalam proses mengenal huruf-huruf. Misalnya huruf A mewakili kata Adil. Dalam konteks ini sang pengajar bisa menggali tentang pengalaman Adil di peserta didik. B itu Bebas, dan sebagainya. Dengan cara ini peserta didik bisa belajar tentang huruf, menghuungkan huruf dengan huruf, serta memperdalam refleksi pengalaman kehidupan mereka sehingga disinilah akan muncul sikap empati dan welas asih yang bisa digerakkan pada upaya rekonsiliasi. *** 

Sustainable Peace For Sampang; Can Shia reconcile with Sunni and resettle in Sampang?

After 20 days staying in Jakarta, the Goes , representative of Shia people from Sampang-Madura- East Java, who came to Jakarta by bicycle, eventually were received by President of Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono on 14 July 2013. Mr. Yudoyono has promised that He will lead the process of reconciliation between Sunni and Shia in Sampang. He also remarked to all Muslim in Indonesia to not spread hate speech to other group and will take the situation of Sampang as strong consideration to impose the development agenda. Can Presiden bring sustainable peace for Sampang?

I must say "yes, it is possible". Moreover, the president can also take an initiative of reconciliation between Sunni and Shia in Sampang and bring the agenda of resettlement of almost 233 people who currently are staying at Puspo Agro Apartment in Sidoarjo, nearby the capital of East Java Province. The current situation between Shia and Sunni seems stuck. The national discourse on Shia and the local discourse is not match. Majority voice of Muslim in East Java claims that Shia is not part of Islam, While in National level strongly support that Shia is recognized by International Muslim Society. It is big fact. Another controversial issues relating with this is about inconsistency internal voice of Nahdatul Ulama (NU), the biggest muslim mass organization, in which provincial and distric branch agree that Shia is heresy. While, in National Level, the head of NU, strongly addresses that Shia is one of school of thought of Islam. Though, there are intervention of program has been doing for conflict resolution, in fact the intervention program was only remedy the impact of conflict, not to resolve the root causes of conflict. So, it is unquestionable that the intervention from the president is urgent. To support this progress, i may suggest the president of Indonesia to take some points as considerations before designing model of conflict resolution for Sampang.

Number one is to have broader perspective on conflict resolution. Meaning that to look the root causes of conflict is economic and non economic  inequality. The fact that Sampang is one of poor area in Indonesia, in which the number of illiterate, poverty, lack of health services, lack of education quality, early marriage, Maternal Mortality Rate, Infant Mortality RAte are having high rate. On the other hand, the role of religious leaders are influential to people, can be a positive and negative side. Positive side, they could strengthen spirituality of people to keep strunggle living in poor condition. Contrary, the negative side of their existence, is the religious leader may use their power to gain his political interest and using people. 

Number two is to focus on conflict transformation through sustainable development, in which the national government must take a look back the national plan of development, and shift the priority to conflict prone area like Sampang. The achievement of MDGs must be projected to Sampang, where people earning income less then one dollar should be strengthened their capacity and put more opportunity of job. So people could access. Illiteracy among adult must be eradicated by integrating learning program (Paket Belajar) to local institution. So, illiterate adult can learn how to write and read. Health services must be affordable for them and awareness raising must be strongly addressed. If it is possible to be part of priority program in district and community level. Building big road is very possible to cut people dependency to the middleman who often give cheap price to their harvest. When people have a nice road connecting from village to town, people could directly sell their goods to the town. Outsider could also invest to the village. 

Number three is to include all multi stakeholders in the process of reconciliation and transformation process, because reconciliation needs long process and required forgiveness from two sides.  So, representative of connectors from Sunni and Shia must be part of the process. including the civil societies should be part of the process. 

Number four is to have law enforcement in national level, in which any violence cannot be tolerated by the state. So, state must strongly monitor the groups who often commits violence and give serious sanction to them. Hate Speech in public must be responded seriously by the government. Minister of Religion must control of religious leaders who do preaching in public and ensure that they do not use hate speech to against other religions or beliefs. 

Finally, the president must using the interest based approach to reconciliation and resettlement of Shia in Sampang. Sending back Shia people to their village is tough work, but keeping them sustain and be accepted by the local people is big challenge. And this is the core of reconciliation. AMAN Indonesia did investigation last year after the second attack to Shia groups regarding peace capacity in Sampang. The findings shows that (Sunni) Women have strong opinion to keep peace. Meaning that Women are ready to accept and live together with Shia people. So, the reconcilaition process should also considre the participation of women because women has strong potential in making peace. Because women often thinks more strategic on keeping "life". Because life is starting from women's body, therfore women more appreciates the life. 

In all, I am so much supporting the process of reconciliation and resettlement of Shia in Sampang. I also more supportive when Government could consider the interest of both Shia and Sunni. Shia needs to come back, Sunni needs to be improved their life quality. So, fasten development in Sampang may give benefit for all. ***  

Mendamba Perdamaian untuk Pembangunan Pasca 2015

Mendamba Perdamaian untuk Pembangunan Pasca 2015
For the first time since poverty trends began to be monitored, the number of people living in extreme poverty and poverty rates fell in every developing region—including in sub Saharan Africa, where rates are highest. The proportion of people living on less than $1.25 a day fell from 47 per cent in 1990 to 24 per cent in 2008—a reduction from over 2 billion to less than 1.4 billion”. Cuplikan tersebut, saya ambil dari laporan Millennium Development Goals MDGs) tahun 2012, khususnya menyoroti masalah kemiskinan ekstrim di benua Afrika. MDG8 di Indonesia dipakai sebagai tolak ukur keberhasilan pemerintah dalam menjalankan pembangunan, meskipun menuai kritik karena target-target indikator dalam setiap MDG8 terlalu minimal. Bapenas melalui laporan perkembangan capaian MDGs pada tahun 2010, mengklaim keberhasilan MDGs di Indonesia pada pengurangan angka kemiskinan dengan indikator peningkatan $ 1 perhari meningkat sampai 5,9% pada tahun 2008 (MDG 1), meningkatkan kesetaraan gender di semua jenjang pendidikan hingga 99,85% di tahun 2009 (MDG3) dan menurunkan kasus TB dari 443 kasus pada 1990 menjadi 244 kasus pada tahun 2009.
Namun demikian kerja masih harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatkan perbaikan gizi balita yang meningkat dari 18,4% pada tahun 2007 dan pada akhir 2015 dipastikan mencapai 15,5% pengurangannya (MDG1). Angka kematian balita juga diperkirakan berkurang 32 kasus per 1000 kelahiran di tahun 2015 dari 44 kasus per 1000 kelahiran pada tahun 2007 (MDG4). Dan terakhir, kemajuan ditunjukkan dalam pengurangi pinjaman luar negeri dari 24,6% di tahun 1996 menjadi 10,9% pada 2009. Dan catatan paling buruk pada penurunan angka ibu melahirkan, HIV dan lingkungan.


Mengapa MDGs bisa diterima dan dipakai sebagai kerangka global pembangunan? Sakiko Fukuda dan David Hulme dalam kertas posisi mereka berjudul “International Norm Dynamics and ‘the End of Poverty’[1]: Understanding the Millennium Development Goals (MDGs)” menjelaskan bahwa faktor utama keberhasilan MDGs yaitu diterima sebagai kerangka global pembangunan. Menurut Sakiko, MDGs memiliki “super norm”akan pengentasan kemiskinan. Maksudnya adalah MDGs mampu menyuguhkan model pengentasan kemiskinan yang tidak hanya melihat pada income, tapi juga menghubungkan dengan persoalan kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender, dan kerjasama global. Yang ini dipandang lebih jelas dan konkrit dalam memberikan arah bagi pemimpin dunia dan juga lembaga-lembaga dunia untuk berkomitmen menanggulangi kemiskinan.

Meskipun didukung oleh sebagian besar negara-negara di dunia, MDGs dalam pelaksanannya banyak menemukan jebakan-jebakan. Pertama, bahwa sangat disadari bahwa MDGs tidak dirumuskan melalui bottom up sehingga ukuran-ukuran yang dipakai terkesan one size fits to all, sehingga menimbulkan persoalan baru terkait dengan metodologi implementasi kebijakan MDGs, ketersediaan pendanaan, dan juga sustainabilitypencapaian. Ini semua karena setiap negara memiliki kekhususan pada kondisi geografisnya, dinamika sosial, budaya, politik dan ekonomi masing-masing yang sangat menentukan capaiannya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sangat menyadari tentang kelemahan MDGs yang dibuat dalam partisipasi senyap masyarakat dunia, menyumbang pada kegagalan banyak negara untuk mencapai ke delapan gol dalam MDGs yaitu kemiskinan penghasilan, kelaparan, kesetaraan gender, pendidikan, lingkungan, kesehatan dan ketangguhan, dan kerjasama global. Di penghujung masa berakhirnya MDGs, Sekretaris General PBB, menunjuk tiga orang co-chair untuk merumuskan kerangka global pembangunan pasca 2015. Ketiga co-chair dipilih untuk mewakili tiga zona penduduk dunia yaitu David Cameroon dari Inggris diharapkan mewakili negara-negara maju, Susilo Bambang Yudoyono dari Indonesia untuk mewakili negara berpenghasilan menengah dan Ellen Johnson Sirleaf dari Liberia sebagai perwakilan negara rentan dan miskin. Tim kemudian dilengkapi sengan 24 anggota panel ahli (High Level Panel of Eminent Person/ HLPEP) untuk menjaring gagasan dari seluruh penjuru dunia tentang agenda pembangunan pasca 2015 dari perspektif masyarakat sipil, sektor swasta, akademisi, dan sebagainya. Pada tanggal 30 Mei 2013, laporan hasil konsultasi HLPEP diserahkan pada sekretaris general PBB dengan judul A New Global Partnership: Eradicate Poverty and Transform Economies Through Sustainable Development.

Tulisan singkat ini ditujukan untuk memberikan catatan kritis pada seluruh laporan HLP, khususnya pada isu perdamaian yang menjadi salah satu elemen kunci pembangunan, olehkarenanya dijadikan khusus pada Gol ke 11 yaitu Ensure Stabil and Peace Society. Isu perdamaian juga menjadi isu cross cuttingyang dalam ke sebelas gol yang ditawarkan oleh HLP dalam laporan tersebut.  

Perdamaian (tidak) dalam MDGs
Damai memiliki definisi yang tidak tunggal. Tetapi biasanya kata damai itu disejajarkan dengan situasi dimana kenyamanan dan keamanan seseorang hidup di komunitasnya. Kenyamanan tentu saja bisa dikaitkan dengan terpenuhinya semua kebutuhan dasar manusia berupa pangan, sandang dan papan. Sementara keamanan adalah sebuah kondisi bebas dari rasa takut untuk berekspresi, berelasi dan berkeyakinan. Secara sederhana kondisi ini tentu yang dicita-citakan oleh MDGs dengan melakukan penanggulangan kemiskinan global. Tapi sayangnya elemen perdamaian tidak dianggap penting dalam upaya mengatasi kemiskinan. Padahal konflik kekerasan yang terjadi di banyak negara, menyumbangkan angka kemiskinan yang cukup dasyat. Contohnya Burundi dan Burkina Faso, dua negara kecil di Afrika kondisinya hampir sama miskinya pada tahun 1990. Lalu pecah perang sipil pda tahun 1993 di Burundi dimana presiden terbunuh dan 300.000 orang meninggal dalam tahun-tahun berikutnya. Saat ini, Burkina Faso setengah lebih kaya dibandingkan Burundi. Di Indonesia, konflik juga menyumbangkan pada kemiskinan secara serius, enam rengking teratas propinsi miskin adalah daerah konflik seperti Papua (32%), Papua Barat (31,9%), Maluku (23 %), NTT (21,2%), NTB (19,7%) dan Aceh (19,6%), yang memiliki sejarah konflik kekerasan persoalan determinasi diri, otonomi khusus, kebebasan beragama, dan konflik antar kampung.

Tidak masuknya perdamaian sebagai elemen penting kerangka global pembangunan bisa saja disebabkan karena paradigm pengurangan kemiskinan yang dipakai oleh MDGs menggunakan konsep growth, sehingga tentu saja hanya terpaku pada peningkatan income saja. Sementara faktor-faktor yang mendorong pada peningkatan income seperti perdamaian dan stabilitas masyarakat terabaikan. Kedua, MDGs meletakkan kemiskinan sebagai akar dari persoalan dalam pembangunan, sehingga masyarakat tidak bisa mengakses pelayanan dasar. Tetapi, sayangnya akar-akar kemiskinan itu sendiri tidak menjadi diskusi yang sebenarnya bisa menampilkan wajah kemiskinan yang tidak tunggal karena berada dalam konteks yang berbeda-beda. Dengan potret kemiskinan yang berbeda-beda itulah akan mendorong lahirnya sebuah framework pengentasan kemiskinan yang akan mempertimbangkan konteks spesifiknya.

Perdamaian dalam Pembangunan Pasca 2015
Konsultasi umum digelar selama 4 kali untuk menjaring gagasan-gagasan genuin tentang agenda pembangunan pasca 2015. Co-chair dan HLP memetakan isu-isu krusial yang muncul dari setiap konsultasi. Di London dengan konteks Eropa, agenda kemiskinan ekstrim begitu mencuat. Sementara di Monrovia, kebutuhan dasar kelompok rentan dan minoritas sangat mengemuka, termasuk akses keadilan korban kekerasan seksual dalam konflik. Konsultasi publik di Bali, merupakan konsultasi terbesar dimana perubahan struktur tentang kemitraan global menjadi agenda penting. Kini, hasil dari konsultasi dengan ribuan masyarakat sipil, sektor swasta dan akademisi telah hadir ditengah kita.
Ada harapan baru pada visi pembangunan pasca 2015 yang tercermin di laporan HLP. Terkait dengan pembangunan perdamaian, HLP menempatkan sebagai visi prioritas dan juga sebagai cross cutting issue.

Perdamaian sebagai paradigma
Untuk menunjukkan sebuah komitmen tinggi pada transformasi struktur di pembangunan, HLP mencanangkan lima visi prioritas yang diharapkan bisa memberikan cara pandang baru dalam agenda pembangunan pasca 2015. Kelima visi prioritas itu adalah sebagai berikut:
1.      Leave No One Behind; bahwa semua orang dalam keterbatasan penghasilan, gender, etnisitas, kemampuan fisik dan non fisik, geografis dan sebagainya tidak harus tertinggal dalam kesempatan terkait ekonomi dan pemenuhan HAM.
2.      Put Sustainable Development as a Core; perubahan dari bentuk pembangunan ekonomi yang destruktif menjadi pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan.
3.      Transform Economies for Job as and inclusive Growth; memastikan pertumbuhan yang menguntungkan masyarakat, terutama bagi kelompok membutuhkan, serta menghentikan krisis pekerjaan dan konsolidasi eneri pemuda
4.      Build Peace and Effective, Open and Accountable Public Institution; mengakui bahwa perdamaian dan good governance sangat penting bagi kesejahteraan manusia dan pembangunan berkelanjutan
5.      Forge a new global partnership; membangun kemitraan global yang mampu mengimplementasikan agenda pasca 2015 dan menyalurkan keuangan untuk investasi pada perubahan
Sebagai paradigma pembangunan yang baru, perdamaian menjadi cara pandang dari semua keputusan yang terkait dengan pembangunan. Artinya ukuran efektif dan tidaknya sebuah kebijakan dan pelayanan dalam pembangunan disandarkan pada sejauh mana pembangunan dapat berkontribusi pada perdamaian, menghargai perbedaan, memberikan rasa keadilan pada perempuan, kelompok minoritas, kelompok rentan dsb dan mendorong pada penguatan kohesi sosial.

Khusus pada visi build peace and effective, open and accountable public institution, yang menarik untuk diberikan catatan adalah pada komitmen sungguh-sungguh HLP pada perdamaian sebagai elemen kunci pembangunan dan bukan sebagai pelengkap penderita semata. Sebagai salah satu elemen kunci dari pembangunan, maka perdamaian tidak bisa hanya dianggap sebagai tujuan akhir, tetapi juga sebagai cara untuk mencapai tujuan. Sebagai sebuah cara untuk mencapai tujuan, perdamaian memiliki dua kaki. Kaki pertamaadalah sebuah institusi  yang bisa memproduksi kebijakan yang berorientasi pada perdamaian masyarakat. HLP menyebutnya sebagai institusi publik yang efektif, terbuka dan terpercaya sebagai prasyarat akan munculnya kebijakan pembangunan yang peka terhadap konflik dan menopang pada perdamaian. Institusi public inilah yang dibayangkan oleh HLP sebagai media untuk mendorong terbukanya ruang-ruang dialog di masyarakat. Kaki kedua adalah penegakan hukum, yaitu sebuah jaminan tentang kebebasan berekspresi, keamanan individu, akses untuk keadilan dan jaminan terbebaskan dari segala praktek diskriminatif dan aksi.

Catatan kritis pertama saya, sepertinya perlu ada kaki ketiga, yang krusial harus ada di dalam membumikan perdamaian yaitu nilai-nilai perdamain yang bersumber pada budaya dan agama. nilai perdamaian bisa saja berakar dari sebuah budaya yang sejak lama dipercaya mampu menciptakan persaudaraan yang kuat diantara warga. Misalnya saja di Ambon, kita mengenal budaya Pela Gandong, yang menjadi simbol persaudaraan warga Ambon. Karena persaudaraan disandarkan pada budaya, maka perbedaan agama tidak menjadi masalah. Di Jawa Tengah, orang mengenal nilai rukun agawe sentoso, trah agawe bubrah (terjemahan bebasnya kira-kira; bersatu membawa bahagia, konflik membawa perpecahan). Nilai yang berakar pada tradisi ini akan lebih kuat mengikat komitmen pada perdamaian, karena dilanggengkan dalam tradisi dan praktek bertetangga di masyarakat. 

Dalam konteks masyarakat agamis, akar nilai perdamaian tentu bisa digali dari ajaran agama baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Fakta bahwa agama-agama besar dunia seperti Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha dan Konfusionisme sangat dihidupi oleh sebagian besar penduduk dunia, sedikit banyak mempengaruhi cara pandangan individu pengikutnya. Sehingga agak aneh, jika kemudian elemen agama justru sama sekali tidak muncul dalam elaborasi analisis di dalam laporan HLP. Institusi keagamaan bisa juga kategorikan sebagai insitusi publik yang non formal, dimana nilai-nilai perdamaian sosialisasikan dan dilanggengkan melalui peran para tokoh agama. Sudah terbukti dalam sejarah pembangunan di Indonesia kalau semua agenda pembangunan mengunakan jasa institusi budaya dan agama untuk menyampaikan pesan perubahan pada masyarakat. 

Catatan kritis kedua saya, adalah pada sumber perdamaian yang dibatasi pada distribusi sumber daya alam yang merata. Ada kecenderungan bahwa perdamaian akan tercapai jika sumber daya alam terdistribusikan secara adil di masyarakat. Sehingga setiap orang memiliki kesempatan untuk menikmatinya. Tetapi tesis ini mungkin tidak berjalan, jika persoalan konflik yang terjadi lebih disebabkan pada pemahaman ajaran agama yang berbeda atau miscommunicationtentang ajaran budaya. Di Indonesia, kasus ketegangan antara warga minoritas seperti Ahmadiyah dan Shia bukan dipicu oleh perebutan sumber daya alam, tetapi perebutan klaim kebenaran ajaran agama. Kasus penutupan gereja oleh masa intoleran, juga tidak terbukti ada hubungannya dengan perebutan lahan. Artinya bahwa distribusi merata kekayaan alam, tidak menyelesaikan masalah. Pendekatan dialog yang jauh lebih relevan untuk menyelesaikan persoalan diantara kelompok yang berkonflik. 

Catatan kritis ketiga adalah mekanisme penyelesaian perselisihan dan konflik yang dirujukkan pada penegakan hukum semata. Pendekatan hukum dipandang sebagai satu-satunya penyelesaian konflik. Padahal, dalam kenyataan konflik sosial, konflik sumber daya alam dan konflik politik, penyelesaian hukum tidak sepenuhnya efektif. Pelaku kekerasan dihukum dan korban dilindungi tidak cukup. Pendekatan hitam putih ini di banyak kasus bisa menimbulkan pengerasan komunikasi pada kelompok yang berkonflik. Sehingga menyulitkan pihak-pihak yang sedang melakukan proses mediasi. Model penyelesaian konflik seperti mediasi dan rekonsiliasi lebih luwes bisa menyelesaikan konflik karena meletakkan semua kepentingan dan mencari jalan tengah. Contoh yang paling aktual adalah konflik Sampang dimana warga Shia diusir dari kampungnya karena dianggap sesat. Dalam konteks ini tentu saja pendekatan hukum tidak cukup hanya menghukum pelaku pembakaran rumah dan kampung saja, tetapi dibutuhkan sebuah pendekatan budaya dan agama yang bisa mendudukkan semua pihak yang bertikai pada kondisi obyektif dengan melihat “kedalam” dan “keluar”, sehingga celah untuk membawa pada rekonsiliasi dan reintegrasi bisa diidentifikasi secara jeli.

Catatan kritis ke empat, bahwa meskipun perdamaian merupakan cross cutting issues, namun bagi saya penting meletakkan perspektif gender di dalam visi prioritas perdamaian. Agenda penting perempuan, perdamaian dan Keamanan PBB seharusnya tereksplisitkan di dalam indikator GOl 11. Secara detil saya rasa perlu memberikan penekanan pada pentingnya memasukkan konten beberapa resolusi dibawah ini ke dalam Gol 11, mereka adalah:
▫        Resolusi 1325 tentang Women, Peace and Security yang menyerukan adanya pelibatan perempuan di dalam pencegahan, perlindungan konflik, serta partisipasi di dalam recovery dan rehabilitasi pasca konflik
▫        Resolusi 1802 ; Kekerasan seksual dalam situasi konflik  yang membawa konsekuensi pada perbaikan keamanan dan perdamaian internasional, peace keeping, keadilan dan respon terhadap negosiasi perdamaian
▫        Resolusi 1888; tentang implementaasi resolusi 1802 melalui penetapan kepemimpinan, through assigning leadership, membangun respon peradilan, mekanisme pelaporan
▫        Resolusi 1889 tentang eksklusi perempuan dalam pemulihan awal dan peacebuilding, serta keterbatasan perencanaan dan pendanaan kebutuhan paska konflik
▫         Resolusi 1960 tentang sistem akuntabilitas untuk penyelesaian kasus kekerasan seksual di situasi konflik
Keterlibatan perempuan dalam perundingan perdamaian mungkin bisa saja masuk di dalam partisipasi politik perempuan, tetapi dalam konteks perdamaian, ini akan lebih terlihat jika dimasukkan di dalam ilustrasi gol 11 dimana partisipasi perempuan dalam peacebuilding, termasuk dalam proses perdamaian menjadi satu tambahan indikator. 

Perdamaian sebagai isu “cross cutting”
Panel ahli sangat yakin bahwa konflik adalah sebuah kondisi yang bisa menghalangi pencapaian pembangunan yang berkelanjutan. Bahkan konflik adalah faktor yang signifikan menyebabkan kemiskinan ekstrim, karena masyarakat bukan saja kehilangan sumber kehidupan, tetapi juga kehancuran pada tatanan kehidupan dan budaya. Olehkarena memastikan adanya sebuah masyarakat yang stabil dan damai menjadi salah satu gol yang diajukan oleh anggota HLP. Ini juga sangat disadari bahwa meletakkan perdamaian menjadi satu gol tersendiri tidaklah menjawab persoalan seputar perdamaian, olehkarenanya cross cutting issuesdiperlukan, sehingga setiap layer persoalan perdamaian bisa diangkat di dalam isu seperti ketersediaan pekerjaan, partisipasi pada proses politik, local civic engagement, pengelolaan sumber daya yang ada secara transparan. Kekuatan cross cutting isu perdamaian ke dalam 12 tawaran gol oleh HLP adalah indikator untuk mencapai masyarakat yang stabil dan damai bisa lebih detil, melingkupi spectrum pendidikan, kesehatan, pemberdayaan perempuan dan juga tata laksana pembangunan. 

Catatan kritis pertama saya pada gol 2 Empower girls and women and achieve gender equality, telah meletakkan satu indikator penting yaitu (2a) prevent and eliminate all forms of violence against girls and women, yang merupakan concern CEDAW dan juga Resolusi PBB 1802 tentang korban kekerasan seksual. Meski demikian perlu diberikan penekanan bahwa akses untuk keadilan korban kekerasan seksual akan pemulihan nama baik, hukuman bagi pelaku kekerasan, dan kompensasi sebagai korban konflik perlu dieksplisitkan. Pada indikator (2d) eliminate discrimination against women in political, economic and public life, perlu dieksplisitkan termasuk keterlibatan perempuan di dalam perundingan perdamaian dan peacebuilding.

Catatan kritis kedua saya pada gol 3 Provide quality education and lifelong learning, penting menambahkan satu indikator, penting tentang pendidikan pluralisme dimana perbedaan secara alamiah sejak dini diajarkan di sekolah,sehingga anak sejak awal sudah belajar tentang management perbedaan. Kualitas dan ketersediaan fasilitas pendidikan yang memadai untuk daerah konflik sangat menentukan pembentukan generasi muda. Ini diperlukan kebijakan yang peka terhadap konflik dan bertumpu perdamaian dalam dunia pendidikan, khususnya di daerah konflik yang biasanya sulit akses. 

Catatan kritis ketiga saya pada gol 4 Ensure Healthy Lives, khususnya pada indikator 4d yaitu Ensure universal sexual and reproductive health and rights. Pendekatan gender sangat dibutuhkan untuk memberikan pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual, terkhusus pada daerah konflik, pendekatan rekonsiliatif perlu ditambahkan untuk memperbaiki hubungan antar warga. Pada situasi konflik, pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual sangat diperlukan di pengungsian, dengan privasi yang terjaga. 

Catatan kritis keempat saya pada gol 5 Ensure good security and good nutrition, seharusnya juga berlaku pada konteks konflik, dimana masyarakat yang tinggal di pengungsian sering tidak memiliki keberanian untuk memastikan ketersediaan makanan dan nutrisi yang baik untuk anak-anak, perempuan, laki-laki dan manula. Karena konflik sering tidak bisa diprediksi kapan selesainya, maka penjaminan ketersediaan makanan yang layak untuk pengungsi akibat konflik menjadi isu penting dalam gol ini juga.

Catatan kritis kelima saya pada gol 6 Achieve universal Access to Water and sanitation, juga seharusnya relevan untuk situasi konflik. Akses air dan sanitasi bagi masyarakat yang membuka desa baru atau yang masih di pengungsian sangat krusial. Ketersediaan air bersih dan sanitasi yang sensitive pada perempuan dimana keamanan dan kenyamanan dijamin, sangat penting. Buruknya akses air bersih dan sanitasi dapat berdampak serius pada kesehatan reproduksi perempuan.

Catatan kritis keenam saya pada gol 10 Ensure good governance and effective institution, dimana semua indikator sangat relevan dan tajam. Namun, pada indikator 10c, tentang partisipasi publik pada proses politik, seharusnya juga memberikan penekanan pada keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan dalam proses perdamaian dan peacebuilding. Juga yang tak kalah pentingnya adalah pemahaman tentang civic engagement yang bisa bersifat cultural atau religious, dimana tokoh kultural dan agama terlibat aktif di dalam promosi perdamaian. Jaminan HAM juga sangat kuat terelaborasi di dalam semua indikator, namun penting juga memberikan penekanan bahwa segala regulasi atau UU yang bertentangan dengan semangat HAM harus segera dicabut.

Ilustrasi Gol 11 dan Tawaran
Bagian ini, kita ingin melihat bagaimana ilustrasi gol 11 lengkap dengan indikator yang ditawarkan oleh HLP, kemudian disandingkan dengan semua list kemungkinan indikator yang tersebar di gol-gol yang lainnya. Berikut tabelnya;
Gol 11 Memastikan Masyarakat yang stabil dan damai

Target indikator
Core and cross cutting  indikator with modification
Note:
a) Reduce violent deaths per 100,000 by x and eliminate all forms of violence against children
b) Ensure justice institutions are accessible, independent, well-resourced and respect due-process rights
c) Stem the external stressors that lead to conflict, including those related to organized crime
d) Enhance the capacity, professionalism and accountability of the security
forces, police and judiciary
a)   Provide free and universal legal identity, such as birth registrations
b)    Ensure that people enjoy freedom of speech, association, peaceful protest
c)    and access to independent media and information
d)    Increase public participation in political processes and civic engagement at
e)   all levels
f)    Guarantee the public’s right to information and access to government data
g)    Reduce bribery and corruption and ensure officials can be held accountable
h)    Provide universal access to safe drinking water at home and in schools, health centers and refugee camps
i)     End hunger and protect the right of everyone to have access to sufficient, safe, affordable, and nutritious food , indluding in the camp
j)     Ensure universal sexual and reproductive health and rights, in the camp and conflict situation
k)    Increase the number of young and adult women and men with the skills of management of differences, lifeskill, including technical and vocational, needed for work by x%
l)     Prevent and eliminate all forms of violence against girls and women
m)  Eliminate discrimination against women in political, economic, and public life
n)   Ensure rehabilitation, restitution and compensation for victim of sexual violence  
o)   Remove regulations that are not support to Human Women Rights
p)   Eliminate all form of fundamentalism in politics, economic, and public life
q)   No impunity for any form of violence against women and girls

Red color is modification

Penutup dan Rekomendasi
Analisis dan formulasi gol 11 Ensure peaceful and stabil society, sudah sangat bagus dan komprehensif, namun tentu saja perlu melihat indikator-indikator lain yang sangat erat beririsan dengan gol tersebut. Beberapa hal penting yang tidak terlalu banyak dielaborasi adalah
1.      Mempertajam advokasi akses keadilan bagi perempuan korban kekerasan seksual untuk mendapatkan pemulihan nama baik, penghukuman bagi pelaku dan kompensasi material
2.      Memastikan semua regulasi yang ada di tingkat lokal dan nasional tidak bertentangan dengan semangat HAM, dan semua aturan internasional dan nasional yang mengarah pada penciptaan perdamaian
3.      Memasukkan isu fundamentalisme sebagai ancaman dari pembangunan karena kepercayaan dan praktek yang mengarah pada kebenaran tunggal, sangat memungkinkan memunculkan diskriminasi dan kekerasan
4.      Memasukkan elemen budaya dan agama sebagai bagian dari elemen kunci dari pembangunan dan perdamaian, sehingga pola-pola penyelesaian konflik tidak hanya menggunakan satu pendekatan hukum, tetapi bisa secara lebih luwes menggunakan nilai dan mekanisme budaya atau agama untuk melakukan mediasi dan rekonsiliasi.  
5.      Menolak adanya impunity pada pelanggaran HAM, termasuk kekerasan seksual di daerah konflik, sehingga penegakan hukum bisa berjalan dengan baik dan masyarakat mendapatkan pembelajaran tentang menhormati hak-hak orang lain
***
 Note: Review ini dikompilasi oleh koalisi masyarakat sipil Indonesia yang dimotori oleh INFID dan dijadikan bahan advokasi di tingkat internasional melalui proses Open Working Group. Tulisan ini juga dishare di website DK-Insufa dan AMAN Indonesia. Tujuannya agar bisa dibaca lebih luas oleh kawan-kawan yang concern dengan perdamaian dan agenda pasca MDGs.