Perempuan Minoritas, Saatnya Bersatu

Beberapa bulan lalu, ketika saya membantu kawan-kawan dari GKI Yasmin untuk menggalang massa untuk mendukung pembebasan gereja mereka, dalam kunjungan ke Mahkamah Agung mengantarkan Ibu Tajul Muluk, saya sempatkan untuk mencari dukungan di kalangan perempuan Shiah untuk memberikan dukungan pada GKI Yasmin. " Saya belum bisa mbak," akhirnya seorang ibu dari kelompok shiah memberikan kembali kartu pos ke saya dengan ekspresi jujur. Saya menghargai ini dan mengatakan bahwa sebuah dukungan itu harus dilakukan tanpa paksaan dan sesama kelompok minoritas memang seharusnya saling mendukung. 

Tentu saja peristiwa mungkin juga terjadi pada banyak orang yang enggan memberikan dukungan pada kelompok minoritas meskipun dia sendiri juga minoritas. Keengganan ini juga bisa dilihat pada saat aksi protes, dimana tidak semua kelompok minoritas berani tampil di publik. Apalagi untuk memberikan dukungan terbuka atas nama lembaga, pastinya akan lebih sulit lagi. 

Tulisan ini saya persembahkan bagi para perempuan kelompok minoritas yang membaca blok saya. Dalam lingkungan yang tingkat represinya tinggi, tidak ada pilihan lain bagi kelompok minoritas selain bersatu. Bersatu tentu saja tidak mudah. Dibutuhkan cara pandang terbuka dan pengakuan jujur bahwa "mereka juga punya kebenaran". Ini tentu saja tidak mudah. Namun, saya ingin tawarkan strategi termudah bagaimana caranya agar perbedaan keyakinan ini bisa diletakkan dalam kerangka berpikir yang berbeda. 

Pertama, reframing tentang isu. Jika kawan-kawan perempuan minoritas sulit untuk menentukan tempat berpijak karena sulit untuk mengalihkan pandangan untuk mengakui kebenaran orang lain. Maka, jangan menggunakan isu "acceptance of others" tetapi harus mencari isu bersama yang lebih bisa mendorong pada penyatuan. Misalnya perlindungan semua warga Indonesia. Artinya, dukungan kawan-kawan minoritas pada minoritas lainnya dilandasi dengan keyakinan bahwa sebagai warga negara setiap orang hidup di Indonesia, dengan latar belakang apapun, wajib untuk dilindungi. Nah, hak ini yang harus diperjuangkan. Karena, memang tidak ada gunanya bertengkar pada persoalan kebenaran keyakinan, karena itu bersifat tidak absolut. 

Kedua, Silaturahmi. Intinya mempererat komunikasi dan interaksi sesama kelompok minoritas. Di dalam Islam, konsep silaturahmi ini dipercaya bisa memperpanjang umur dan rizki. Silaturahmi sangat bermanfaat bagi kelompok minoritas lainnya untuk memperdalam pengetahuan tentang kelompok lain dan juga menjaga intensitas dialog dengan kelompok minoritas lainnya. Mengapa ini penting? Mungkin saja dukungan kepada kawan-kawan yang sedang dilanda masalah ini berkurang, karena di antara kelompok minoritas sendiri tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang kelompok lain.  Ini bisa dibuktikan, berapa sering ibu-ibu dari Ahmadiyah berbicara dengan ibu-ibu dari GKI Yasmin, atau dari kelompok Shiah atau sunda wiwitan. Mereka memang sering dipertemukan dalam sebuah forum, tetapi saya rasa tidak untuk konteks dialog untuk memahami posisi masing-masing. Tapi lebih mengarah pada menyampaikan situasi ke pihak-pihak yang dianggap punya otoritas untuk memberikan penyelesaian. Saya tidak bilang ini buruk. Tapi bahwa intensitas dialog dengan para perempuan minoritas sendiri menjadi urgen, untuk menumbuhkan rasa persatuan sebagai sesama minoritas.
 Ketiga, membagi best practice dan not best practice. Pertemuan yang dimaksudkan di dalam point sebelumnya tentu saja tidak dalam rangka "pamer" tentang kebesaran masing-masing lembaga. Tetapi lebih diarahkan untuk memberikan ruang bagi setiap perempuan minoritas untuk berbagi cerita sukses maupun gagal dari pengalaman selama ini menghadapi sistem yang represif dan masyarakat yang egois. Sharing cerita sukses dan tidak sukses ini penting agar perempuan lain dari kelompok minoritas bisa mempelajari strategi, pendekatan dan cara-cara lain yang dianggap bisa bermanfaat menghadapi situasi yang sulit pada saat penyerangan, terdiskriminasikan, dan bernegosiasi untuk menaklukkan hukum yang bias. Pengalaman yang tidak sukses juga perlu dibagi, karena bagian pembelajaran kita semua. Ini biasanya yang sulit, karena dianggap tidak bermanfaat dan malu karena tidak berhasil.

Keuntungan yang bisa didapat dari bersatu ini adalah tentu saja dukungan di dalam internal minoritas sendiri semakin kuat karena memang persoalan satu kelompok menjadi persoalan kelompok yang lainnya. Kedua, bersatu juga menyulitkan kelompok mayoritas yang senang menggunakan cara-cara kekerasan, yang menurut saya jumlahnya sedikit,untuk memecah belah suara dan dukungan kelompok minoritas. Dengan terjalinnya komunikasi, kekuatan orang menjadi penting untuk melakukan tekanan balik ke pemerintah agar memperhatikan perlindungan hak-hak minoritas di negeri ini. Kalau publik tahu bahwa ada banyak korban diskriminasi dan kekerasan karena berbeda keyakinan dan dampaknya pada kehidupan mereka, maka kemungkinan empati dan simpati dari pihak mayoritas akan sedikit demi sedikit terbangun. Siapa yang tega melihat saudara sebangsa dan setanah air ini dianiaya.

Coba kita bayangkan jika perempuan minoritas bersama-sama menghadapi sistem dan budaya yang tidak ramah pada perbedaan, tentu akan berbeda. Saat ini, pengalaman saya melakukan advokasi bersama The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, mengatakan bahwa kelompok CSO sangat sibuk melakukan advokasi, sementara para kelompok minoritas sendiri tidak digerakkan. Mereka harus bergerak seirama dengan kita. Jadi, jangan menunggu banyak korban lagi. Kita harus bergerak seirama dan menuju goal bersama. Berani coba? ***


Transformasi Konflik itu Niscaya oleh Perempuan

Tidak kusangka pertemuanku dengan John Paul Lederach, penggagas teori transformasi konflik pada tahun 2006 di Bangkok dalam salah satu forum yang digelar the Asian Muslim Action Network (AMAN), memberikan dorongan kuat padaku untuk menurunkan konsep itu ke dalam aksi, sehingga aku punya imaginasi tentang apa itu transformasi konflik. Dalam bukunya yang berjudul “Conflict Transformation”, Lederach memberikan definisi transformasi konflik sebagai berikut: 
Conflict transformation is to envision and respond to the ebb and flow of social conflict as life-giving opportunities for creating constructive change processes that reduce violence, increase justice 
in direct interaction and social structures, and respond to real-life problems in human relationships. 
Untuk memudahkan kita mencerna apa maksud dari definisi yang diberikan Lederach, saya rasa kita bisa menggunakan analog bahwa transformasi konflik itu sama seperti perjalanan hidup menjadi manusia yang menggunakan 3H 1L (Head, Heart, Hand and Legs) untuk mencapai tujuan. 

Head. Adalah cara berpikir kita tentang bagaimana memandang konflik. Cara pandang ini sangat berpengaruh pada cara kita memperlakukan konflik. Konflik bukanlah statis. Mereka ibarat bagian dari bumi dimana ada gunung-gunung, lembah, sungai dan pepohonan menjadi elemen keindahan bumi itu sendiri. Di dalam konflik, tentu kita menemukan masa harmonis, masa berselisih, masa bersitegang, masa saling bunuh, cooling down dan bahkan sampai pada gencatan senjata. Memahami konflik sebagai bagian dari dinamika kehidupan manusia memaksa kita untuk berpikir cara-cara inovatif yang bisa menggiring masyarakat pada proses transformasi konflik. Ini yang mungkin oleh Lederach disebut sebagai transformational perspective, sebuah cara pandang yang berorientasi mengubah. Dalam menjalankan ini dibutuhkan sebuah kapasitas cara berpikir yang memandang konflik adalah fenomena alam dan berani menggunakan kapasitas tersebut dalam kerja-kerja pembangunan perdamaian.


Dalam kerja-kerja membangun perdamaian, The Asian Muslim Action Network (AMAN) di Indonesia menjadikan pendidikan perdamaian sebagai tonggak utama untuk memulai proses transformasi. Ada tiga hal yang ingin disasar dalam proses pendidikan perdamaian yang kemudian dikenal dengan sebutan Sekolah Perempuan Perdamaian (SP) yaitu koqnisi, afeksi dan psikomotorik. Sebuah prasyarat yang tidak gampang karena kemudian harus diciptakan mekanisme bagaimana peserta didik bukan saja mengerti subyek yang dibahas, tetapi bisa mempengaruhi cara pandang dan punya sikap dan kemudian melakukan aksi nyata dengan menggunakan kapasitas yang sudah dipunyai. 

Sebut saja Ibu Yurlianti, seorang perempuan Poso yang tinggal di Malei Lage kabupaten Poso Sulawesi Tengah, 2 jam dari kota Tentena, saat ini sangat aktif menggerakkan ibu-ibu dari kelompok Kristen dan Muslim untuk memanfaatkan lidi dan ikan yang berlimpah untuk dibuat piring dan abon. Gagasan ini muncul setelah tiga tahun mendalami kajian tentang konflik dan perdamaian dalam kelas reguler seminggu sekali. Dia menemukan bahwa kunci utama transformasi konflik di Desa Male Lage adalah relasi di masyarakat. Konflik kekerasan yang terjadi pada akhir 1999 sampai 2004, membuat orang-orang tidak mau bicara terbuka dan lebih memilih “diam” dan hidup dalam komunikasi senyap. Interaksi nyaris hilang. Padahal prasyarat untuk membangun sebuah komunitas adalah keterlibatan semua orang tanpa memandang agama, suku dan golongan tertentu. Konflik kekerasan memang tidak ada lagi. Tapi residu masih ada. Yurlianti merasa bahwa konflik kekerasan bisa terjadi lagi, maka pondasi relasi kuat di masyarakat harus dibangun. Maka bertekadlah dia untuk meningkatkan kemampuan berbicara, berargumentasi, dan berorganisasi. Kini dia sangat yakin bahwa intensitas komunikasi dalam membuat piring lidi dan abon ikan akan sedikit demi sedikit menata bangunan pondasi hubungan yang baik antar warga. 

Heart. Merupakan pusat kehidupan dari tubuh kita. Kita menemukan emosi, intuisi dan kehidupan spiritual dalam hati kita. Dari hatilah kita menjalin hubungan dengan manusia lainnya dan juga alam. Dari hatilah kita merasa tersakiti dan kemudian memutus hubungan dengan orang lain. Hati adalah pusat kita merasakan  pergeseran rasa kita dalam merespon ajakan untuk berkonflik atau sebaliknya. Pondasi damai di masyarakat ditanam dengan hati yang memberikan kesempatan hidup bagi orang lain. Ketika pertama kali kami menggelar training di Hotel Wisata Poso taun 2008, kami merasakan hati para peserta “membeku” karena dendam, prasangka dan distrust yang kuat. “Kami sangat takut menyapa ibu-ibu dari Muslim, karena takut tidak disapa balik”, ucap ibu Rosa (nama samaran). Namun ketika mereka melihat bahwa AMAN Indonesia memiliki staf dari agama Islam dan Kristen dan menunjukkan kerjasama yang baik, dan dibantu dengan metode training yang mengharuskan mereka bergerak, berbagi perasaan, menyentuh tubuh kawannya, dan bekerja dalam kelompok, mampu mencairkan kebekuan hati mereka. Ya…orang-orang tercinta mereka memang sudah mati karena dibunuh. Tapi kehidupan harus berjalan. Semua orang kehilangan orang tercinta. Kehilangan harta benda. Konflik memang telah meluluhlantakan semua kehidupan di Poso, tetapi juga memberikan kesempatan hidup bagi yang masih bertahan. 

Hand. Tangan menyimbolkan kerja. Makna yang dikandung adalah bahwa perdamaian harus dibuat. Ini adalah perwujudan dari head dan heart dalam sebuah aksi nyata. Transformasi adalah sebuah proses sosial mengubah relasi. Ini adalah pekerjaan yang panjang karena sangat berhubungan dengan dinamika perasaan manusia. Di Loji Bogor, dimana ketegangan antar agama dan etnis tertentu bisa memicu pada perselisihan dan konflik, para ibu yang bergabung ke dalam perkumpulan Sekolah Perempuan Aktif Kreatif (SPAK) berhasil memperkenalkan sebuah mekanisme dialog kepada warga ketika sebuah perselisihan, fitna dan provokasi terjadi pada awal 2011. Berbekal pengetahuan resolusi konflik dimana data akurat sangat penting bagi penyelesaian masalah. Uni Dewi, Ibu Ade, Teh Upit dan ibu-ibu lainnya mengumpulkan fakta kebenaran dari sumber-sumber yang diduga menyebarkan informasi miring tentang adanya proses kristenisasi. Dibantu dengan para tokoh masyarakat, mereka berhasil mengumpulkan warga yang berselisih dan melakukan provokasi, dan dimediasi oleh ketua RW saat itu Bapak Oman. Model kegiatan berkunjung ke gereja dan tulisan terkait dengan kemerdekaan beribadah dari Salam Newsletter edisi  dimaknai oleh sebagian orang sebagai upaya Sekolah Perempuan melakukan kristenisasi. Kepercayaan diri pada ibu-ibu yang sudah diperkuat kapasitas berpikir mereka dan hati yang memberikan kesempatan pada orang yang untuk memperbaiki, inilah yang menjadi kunci bagaimana dendam diurai menjadi kasih dan sayang sehingga dalam setiap kegiatan-kegiatan selanjutnya tetap melibatkan semua pihak. Tanpa “tangan” (baca: bergerak) maka tidak mungkin sebuah transformasi terjadi di RW 3 kelurahan Loji-Bogor. Kunjungan tim dari Institute Pertanian Bogor (IPB) dan pemberian apresiasi yang tinggi pada karya pupuk organik SPAK bukan formalitas dan dibuat-buat. Tapi sebuah pengakuan jujur bahwa lewat karya, perempuan bisa. Pujian dan sanjungan ini didapat dari sebuah perjuangan panjang untuk mengubah rendah diri menjadi percaya diri. Mengekor menjadi memimpin. Mengangguk-angguk menjadi kritis bertanya. Dan benci menjadi cinta. 

Yang terakhir adalah legs and feet, atau kaki. Kaki bisa dimaknai disini sebagai pijakan atau tanah tempat berpijak. Sama seperti tangan kita, kaki akan membumikan gagasan dan keberpihakan kita untuk membangun perdamaian dalam sebuah bentuk nyata. Target penting dalam sebuah proses transformasi konflik adalah mengurangi kekerasan dan merengkuh keadilan bagi siapapun. Ini bisa dimulai ketika relasi dengan diri sendiri dan dengan orang lain terbangun dengan setara, terbuka dan bermartabat. Oleh karenanya transformasi konflik akan terjadi jika ada perubahan dalam diri kita, keluarga, masyarakat dan struktur di masyarakat. Bagaimana ini terjadi? Saya akan menjelaskan dengan sebuah pengalaman perempuan yang terlibat dalam program AMAN Indonesia di Jakarta.

Namanya Ibu Rohimah. Tinggal di Kelurahan Pondok Bambu Jakarta Timur. Beliau adalah seorang perempuan asli betawi yang dilahirkan tahun 1975. Dikaruniai seorang suami (Pak Sirto) dan dua orang anak perempuan (Wuri dan Fitri). Tahun 2007, ketika AMAN Indonesia memberikan bantuan sembako untuk korban banjir, Rohimah sama seperti perempuan kebanyakan daerah sana adalah seorang pendiam, gagap berbicara dan malu-malu. Dengan tekad besar, dia dan sekitar 10 ibu lainnya memberanikan diri untuk meminta AMAN Indonesia tidak pergi dan membuat program pemberdayaan perempuan. Sekolah Perempuan Perdamaian (SP) dilaunching pada Agustus 2007 untuk mewadahi kegelisahan perempuan Pondok Bambu yang haus  pengetahuan. Dua jam dalam satu minggu para ibu belajar tentang nilai-nilai perdamaian dan ketrampilan untuk transformasi konflik. Rohima membagi hasil belajar di kelas kepada suami dan anak-anaknya. Sebuah perubahan terjadi secara pelan namun pasti. “Membangun tim” itu yang dianalogkan oleh Rohima dalam melihat keluarga dan masyarakat. Karena keluarga ibarat sebuah tim, maka setiap anggota harus saling membantu pekerjaan dalam rumah. Suami dan anak-anak juga harus mengambil tanggungjawab dari pekerjaan di rumah. Bukan saja ketersediaan waktu yang dimiliki Rohimah untuk bersosialisasi dan membangun masyarakat saat ini, tapi juga suami dan anak-anak menjadi lebih bangga karena dia tidak lagi menggunakan air mata sebagai senjata negosiasi kepentingan, tetapi menggunakan argumentasi untuk menyampaikan keinginan. 

Dampak perubahan diri Rohimah juga dirasakan di masyarakat. Dari seorang warga pasif, sekarang sudah dipercaya untuk memimpin sebuah organisasi bernama SP. Bahkan Pak Budi, Lurah Pondok Bambu memberikan kepercayaan pada Rohimah dan SP untuk menggerakkan masyarakat dalam membuat Bank Sampah. Tentu saja kesuksesan ini bukan hanya kerja Rohimah, tetapi juga ibu-ibu lainnya yang juga belajar dalam program dan mewujudkan keinginan damai dalam bentuk aksi nyata bagaimana membangun pondasi “berhubungan” di masyarakat. Meskipun baru 20 nasabah Bank Sampah, sejak empat bulan lalu, namun pergerakan penyadaran dan mobilisasi warga untuk mendukung berdirinya Bank Sampah sangat bisa dirasakan. Bagi Rohima, Bank Sampah bukan saja menjawab persoalan lingkungan di Pondok Bambu, tapi sekaligus menata pondasi kohesi sosial di masyarakat agar bisa mengelolah perbedaan. 

Tentu ini tidak mulus begitu saja. Dalam mempertahankan enam tahun organisasi, kebahagiaan dan kepahitan juga menyertai. Khususnya ketika saya berpikir pembangunan perdamaian adalah sebuah pergerakan. Maka ini adalah bentuk pergerakan yang tidak terbatas oleh waktu dan ruang. Ketika satu persatu staf meninggalkan lembaga karena kepentingan pribadi maupun tuntutan masyarakat, harus diyakini bahwa perjuangan tidak putus. Mereka berkarya dalam bentuk berbeda. Tapi, sebagai seseorang yang melahirkan lembaga, pahitnya sama seperti seorang ibu yang melepas anaknya pergi merantau. Sakit, perih dan sepi rasanya. Bahkan saya kadang mengibaratkan sebagai seorang tukang dimana setiap satu bata saya tata, pada keesokan harinya berantakan kembali. Namun, bukankah ini sama seperti menata kembali relasi di masyarakat kita. Jadi, tidak ada alasan untuk berhenti ketika orang lain berhenti. Selama harapan masih ada di hati, maka perubahan akan niscaya.

Akhirnya, saya menyadari bahwa memahami konsep transformasi konflik hanya dari teks tidak akan pernah menemukan makna yang sesungguhnya. Tetapi memahami konsep dan mencobanya dalam kehidupan nyata, akan memberikan keyakinan bahwa transformasi konflik itu niscaya. ***

Artikel ini juga akan dipublikasikan di SALAM Newsletter milik Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia sebagai refleksi para staf yang bekerja dalam isu pembangunan perdamaian.

Where should minority children be involved in the battle of freedom for religions?

Three months ago, I had change to meet some women from GKI Yasmin in Bogor to know their progress as well as to seek possibility to have joint program. My visiting was so fruitful because it was attended by core team of women of GKI Yasmin, where most of them are so powerful and ready to move forwards to help other minority women. Wow..how this fantastic to hear about fresh energy, who are ready to assist other women minority to take up and fight for justice. 

There was one interesting story from our discussion that i would like to pick and highlight in this writing, was about the position of children. "Are your children aware of this case?" I asked Ibu Ning, the leader, about the situation of children in responding the discrimination against faith minority. " I even dont think about it," said Bu Ning. 

According to Bu Ning, there is almost no space for children or youth belonging to GKI Yasmin shared about their feeling during the church facing confrontation from unknowed mass that cause sealing of church. Since 2006, the follower of GKI Yasmin has been fighting to get their rights. Though they won in the state court, and The President has been urged the major city to take follow up action to open the seal from the church, but nothing happen. Last Christmas, the rejection was still strong. 

Go back to the situation of GKI Yasmin's children, it is obvious that children or youth are not involved much in the situation. Moreover, the parents tend to avoid children from the discourse of rejection of church. In fact, children and youth are often witnessing the clash between violent mass and their parents almost every Sunday. Children and youth are actively involving in the rally and regular worship in front of the President Palace. 

They have leant something, but they may not be able to express their desparation, confusion, doubt, hatred to "Islam" because this group which obviously have been making distraction during Sunday worship using "Islamic symbol". I am afraid that children are having negative thinking about Islam and generalize that all muslim are bad. They may also hold hatred to all muslim and closed their friendship to Muslim children. 

We, adult people must pay attention of this since early stage. Children of minority need a space where they can express their feeling and voice. The adult must hear their thought over the case and dig up possible solution from the persepctive of children and youth, so perhaps some innovative solution can be formulated. Children from minority need to be met with children from majority. Hence, they can get different persepctive of diverse muslim and still find friendship to other muslim who believe on tolerance and non violence action. So, open space for children and youth, let them be free to speak up. ***